Monday, April 10, 2017

Single or Double? Yang Penting Berprinsip~


Setiap manusia yang bernyawa insyaAllah selalu ada ujian ataupun musibah dalam hidupnya. Eh, kalo manusia yang udah nggak bernyawa mah namanya mayat ya, bukan manusia. 




Nah, jadi kalau mau hidupnya "baik-baik" saja tanpa ujian dan musibah ya berarti kudu jadi mayat dulu. Etapi sebenernya udah jadi mayat juga masih ditanya-tanya yah sama malaikat, belom kelar juga dong berarti itu si ujian? 

*nadya anaknya plinplan*
*abaikan*

Jadi, kalau kita ngeliat sesembak atau sesebabang yang sudah menikah kok hidupnya hepi terus, feed sosmednya keliatan lifegoals banget, bukan berarti hidupnya tanpa ujian, ya. Jomblo aja banyak ujiannya, *ahem* apalagi menikah? Kenapa menikah lebih banyak ujiannya? Karena dengan menikah juga lebih banyak pahalanya. Dengan menikah, hampir semua pengamalan dikalilipatkan oleh Allah, pahalanya. Nah, menurut kamyu aja nih, kalo pahalanya banyak, yakali jalannya mudah dan lempeng?
Nggak mungkiin.
Karena hadiahnya bukan gelas cantik, tapi syurga.



Trus yah, kenapa sih kita kalo taking picture hampir selalu berkali-kali (lu aja, nad) sampe nemu angel terbaik dan dipajang deh tuh hasil gambar yang paling baik menurut kita.
Banyak ya, alasannya.
Salah satunya ya, nggak pengin aja yang liat feeds kita jadi sakit mata. Syukur-syukur bisa menginspirasi dan jadi jariyah.

Nah, begitupun dengan konsep berumah tangga dalam Islam, suami istri itu saling menjaga, saling melengkapi, saling menutupi aib pasangan, karena suami istri adalah pakaian bagi satu sama lain.

Pasangan ada kekurangan? 
Ya, jangan diumbar. 
Punya masalah? 
Apalagi. 
Kecuali mentok nggak ada jalan keluar, sekiranya bisa dikonsultasikan ke pihak yang 'berwenang', itu jauh lebih baik.

Alhamdulillahnya saya juga bukan tipe yang suka nyindir-nyindir suami lewat status yang aku share dari sesembak psikolog, atau sesesiapapun lah. Kalau ada artikel yang kebetulan "pas" sama kejadian hidup, biasanya aku copast kirim ke watsap/email suami (jika sedang rajin). Jika sedang tidak rajin, minimal aku mensyen paksu di statusnya seseibu atau sesembak tersebut. Jadi, mudah-mudahan si, circle-ku nggak "ngeh" kalau kita sedang ada apa-apa. Ehee.
Ehya, ini syarat dan ketentuan berlaku, yah. Karena nggak semua suami bisa terima "dibeginiin" istrinya, jadi balik lagi sesuaikan dengan sikon masying-masying.

Lalu, biasanya juga buibu ni doyan curhat, ya (ups 🙈). Nah, kalau sudah menikah ini kudu hati-hati banget. Jangan sampai jadi pasangan yang suka umbar-umbar kekurangan partner hidupnya. 
Biar apa coba curhat? 
Biar tenang? 
Mau tenang mah tilawati, dzikir, sujud, sabar. Kan udah dikasih tau sama Allah rumusnya....

(Ngomong mah gampang, prakteknya susah, nad..... iya, bener. Hiks) 

Yakan udah dibilangin kalo mudah mah hadiahnya payung cantik, bukan surga. Deal with it.



Lagian kasian kan, pasangannya malu, kekurangannya diketahui orang lain. Masalahnya pun belum tentu juga selesai dengan kita cerita-cerita. Paling temennya juga cuma angguk-angguk sambil bilang sabar-sabar. Paling mentok ya kasih saran, tapi ya belum tentu juga cocok sarannya, karena yang paling tau masalahnya ya kita, dan Allah. Ujung-ujungnya kita juga yang malu karena akhirnya baikkan sama pasangan, dan ada pihak luar yang tau "aib" keluarga kita.
Curhatnya jadi sia-sia.





“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhari Muslim)


Jadi pertama kali yang perlu kita lakukan sebelum bertemu masalah (kembali), adalah mencari sebuah prinsip hidup supaya ketika kita dihadapkan oleh sebuah masalah, kita siap menghadapi dan menyelesaikannya.

Kenapa sih prinsip-prinsip hidup ini menjadi penting? Soalnya kalo kita nggak punya prinsip, hidup kita jadi seperti terombang-ambing di lautan geloraa~~ 

*kemudian nyanyik*
*salah gaul*

Hidup kita jadi plinplan, bingung, galau, resah, gelisah, kemudian laper. Dan jarum timbangan makin geser ke kanan *ini mah gue* 🙈

Maka temukanlah prinsip-prinsip hidup tersebut dalam Alquran dan Alhadits. Karena, sudahlah pasti benar bahwa Islam adalah solusi hidup untuk siapapun di muka bumi ini. Apalagi kita yang muslim/muslimah, jungkir balik solat, ngaji, ibadah, jangan sampai lupa bahwa solusinya ada semua disini (Islam).

Nggak mau nikah beda kasta, yang satu turunan darah biru, pasangannya darah ungu (emang ada?).
Nnggak mau nikah beda lidah, yang satu doyan pedes, satunya doyan pedes banget pake micin dikit.
Nggak mau nikah beda suku, yang satu dari sunda, pasangannya jawa.

Terus, kenapa? 
Hey, terus kenapaa?
Biar kata Hayam Wuruk nggak jadi nikah sama Dyah Pitaloka konon akibat perang yang tidak berimbang karena sebuah kesalahpahaman diantara mereka dan pasukannya yang kemudian sampai saat ini menjadi alasan segelintir masyarakat untuk melakukan "perang dingin" diantara kedua suku, kalau prinsipnya berkiblat pada Islam, maka hal itu menjadi mudah. Tak perlu lah ada dendam diantara kita, apalagi kita nggak tau persis kejadiannya seperti apa. 

Sudah berumah tangga, prinsipnya ya jalan terus sesuai Alquran dan Sunnah. InsyaAlloh, Allah mudahkan kesempitan-kesempitan yang dirasa. Allah berikan ilham-ilham yang baik diluar logika kita.

Begitu pula yang masih single, sendiri itu bukan karena nggak laku, nggak ada yang ngajakkin maksiat, tapi karena sadar betul bahwa sebagai hamba Allah, harus menjaga diri dan hawa nafsu agar masuk surga, selamat dari neraka. 
Ini prinsip. 
Pegang yang teguh, jangan gampang belok. 

Kudu setrong, shay.



Allah sudah berbaik hati mengirimkan surat cinta kepada hamba-hambaNya lewat utusanNya. Yang kalau dibaca menghasilkan pahala, yang jika dihapalkan kelak ia akan menjadi syafaat di hari kiamat.

Allah juga berbaik hati memberikan solusi diatas semua solusi dalam urusan kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi melewati Alquran dan perilaku keseharian Nabi Muhammad SAW.
Terus mau apalagi? Kamu kok ya dikasih kunci jawaban kehidupan sak pol-pol ne, yo ora diwoco? Arepe opo, toh?

Ayok berubah, sebelum dirimu punah! 
Bismillah.
Mudah-mudahan Allah paring istiqomah, yah! 

Nadya, 
Wif ❤

----
*notetoself

Sunday, April 9, 2017

Pernikahan yang Bahagia


Pernikahan yang bahagia itu bukan pernikahan yang tanpa masalah. Tapi pernikahan yang saling mengerti bahwa ketika ada masalah maka "kita" harus mencari jalan keluarnya bersama-sama. Kenapa "kita" nya di bold? Karena menikah itu ya berdua, menyatukan dua orang yang berbeda untuk mendapatkan ridhoNya. Jadi, berjuangnya ya berdua dong, ya. Kalo sendirian kan jomblo namanya. Eh. 😜


Jangan baper, becanda yaaw



Nah, Alhamdulillah, kabar baiknya ialah dalam Islam selalu ada jalan keluarnya.
Serius?

SERIUS.


Karena menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya adalah KOENTJI. 





Make it simple, mau bahagia? Taat Allah Rasul. As simple as that. Like really? Iya. Beneran. Beneran bangeet. Pengalaman hidup pribadi dan orang lain mengajarkan saya tentang hal ini. Kamu juga, kan?

Misalnyapun ada berbagai macam teori tentang pernikahan, percayalah bahwa pondasi utamanya tetap ada di kecintaan kepada Tuhannya lebih dulu, kemudian ilmu lalu amal untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuanNya.

Karena dibilang kudu komunikasi blablabla kalo hobinya maksiat ya tetep aja komunikasinya nggak efektif. Why? Soalnya dia nggak komitmen sama Allah. Waktu ijab kabul, dia lupa atau nggak ngerti maksudnya pernikahan itu apa. Menikah itu gampang, menjaganya yang susah.

Karena pelanggaran-pelanggaran dan maksiat yang dikerjakan itu nggak akan pernah membawa kebahagiaan bagi pelakunya. Ketika Allah masih memberikan waktu dan kesempatan, maka orang tersebut akan bertaubat sambil menyesal telah melakukan perbuatan-perbuatan maksiat tersebut. Mungkin sampai akhir hayatnya dia 'dibebani' rasa bersalah yang amat sangat sehingga, menjadi cambuk untuknya supaya bisa beramal sholih lebih lebih dan lebih banyak lagi. 

Namun, jika Allah tidak lagi peduli dengannya, pelaku tetap merasa tenang-tenang saja hingga kebahagiaan yang fana tersebut pada akhirnya akan hilang dan berganti. Mereka tidak pernah kekal, bahkan mudah sekali pergi. Mudah sekali, secepat anak 2 tahun yang udah bisa ini itu padahal kok kayaknya baru kemarin lahiran.

*tapi boong*
*dua tahun berasa kali, ah*



Rumus yang udah absolut ini masih selalu ada aja yang nyeletuk,

"Ah, nggak juga tuh. Si A kerjanya maksiat mulu, rejeki lancar aja. Anak-anak berprestasi, istrinya cantik dlsb"

We never know what someone is going through yekan, boebo?
Lagian orang mah pengennya kamu-kamu itu taunya ya baik-baiknya aja, yegak?



"Itu si B ahli ibadah, anak-anaknya tahfidz quran kok rumah tangganya berantakan?"

Kita juga nggak pernah tahu hati orang lain, atau jangan-jangan perceraian lah jalan terbaik untuk si B, sehingga bisa mendapat istri yang sholihah nan taat.

Saya pribadi sih percaya kualitas kebahagiaan hidup seseorang ditentukan dari seberapa dekat dia dengan TuhanNya, seberapa taat dia dan seberapa kuat dia berjuang meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan. Ketika saya lagi turun keimanan, ya ada aja (banyaque) perasaan-perasaan negatif muncul. Mau me time ke salon kek, buang-buang uang makan di tempat yang bukan kelasnya saya (nggayae rek, kek punya duit saja kau nak 😂), berenang, tidur, traveling, apapun, ujung-ujungnya saya baru bisa tenang kalo udah tsurhat ke Yang Maha Memberi Ujian dan Rasa. Jadi dahulu kala, saya nggak pernah sedih kalo nggak ada bahu, lantai mesjid banyak cin, sujud ateuh. Dijamin kepala adem, hati pun. Masyaa Alloh, Alhamdulillah.

Karena percayalah kebahagiaan yang HQQ itu cuma bisa didapet kalo kita deket sama yang Empunya bahagia. 



Pernikahan bahagia juga bukan karena keduanya saling mencintai (saja), namun karena keduanya lebih mencintai Allah yang kemudian Allah turunkan benih-benih cinta diantara keduanya. Sehingga Allah tambah mencintai hamba-Nya yang saling cinta-mencintai karenaNya. InsyaaAlloh. 

Bingung nggak? 
Gausah bingung, istikhoroh sama hajat aja yang banyak. InsyaAlloh tahun ini, yaa? Aamiiin 😘

Nadya, With Love ❤

--------

*sebagai pengingat diri sendiri
**doa terakhir khusus pejuang single yang sedang mencari pasangan halalnya.

Tuesday, April 4, 2017

Aliran Rasa kelas Matrikulasi IIP


Institut Ibu Profesional.

Membaca sebuah nama komunitas ibu-ibu itu terpampang di timeline media sosial saya saja sudah membuat saya bergidik. 

Ibu? 
Profesional? 
Benarkah ada seorang Ibu yang Profesional? 
Tidak mungkin. 
Pasti mereka pernah melakukan kesalahan. Kenapa pasti? Karena simply, kullu bani Adam khoto'un, setiap anak turun Adam pasti melakukan kesalahan.

Lalu apa yang dimaksud Ibu Profesional? Bagaimana mungkin seorang Ibu bisa profesional? Seperti apa yang dipelajari Ibu-ibu itu hingga bisa menjadi profesional? 

Betul, dengan membaca nama komunitasnya saja sudah cukup membuat saya penasaran dengan siapa pendirinya, apa agendanya dan seluk beluk di dalamnya.

Hingga sampailah saya pada kesempatan mengenal lebih jauh tentang IIP melalui kelas Matrikulasinya. 

Excited? Tentuu. 
Bercampur dengan rasa khawatir dan takut akan semua kekurangan-kekurangan saya sebagai seorang ibu dan istri.

Kelas Matrikulasi kembali membawa saya berada di titik 0 hidup saya. Mengingatkan kembali tentang kodrat dan fungsi yang sebenar-benarnya sebagai perempuan. Bukan, kodratnya bukan hanya sebagai tempat dilahirkannya keturunan saja, melainkan juga sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mengapa ini penting, karena tanggung jawab membawa anak kurang lebih 9 bulan dan rasa sakit melahirkan belum seberapa dibanding tanggung jawab akan adab, akhlak, aqidah, cara berpikir si anak yang merupakan titipan Allah langsung kepada sang baby sitterNya di dunia yakni orang tua, khususnya ibu. Dan rasa sakit melihat kegagalan anak tentang pemahaman dan amalannya sesuai Alquran dan Alhadits jauh lebih mengerikan dibanding peristiwa melahirkan. Fungsi wanita, bukan hanya tentang masak dan bersolek, jauh dari itu, kita sedang berproses membangun sebuah peradaban lewat tangan kita sendiri.

Dalam banyak sisi kehidupan, tentu kita seringkali mendapat nasihat, petuah, petunjuk yang terbaik untuk menjadi seorang hamba, anak, istri maupun ibu. Maka, bersama kelas matrikulasi IIP, kita dimantapkan kembali tentang ilmu-ilmu yang sudah kita peroleh. Disadarkan tentang mengolah informasi, fokus, ikhlas, mengenal dan bisa mengukur potensi diri serta didukung untuk mencapai mimpinya yang bermanfaat untuk banyak orang. Merekonstruksi cara berpikir agar mudah dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Menambah jam terbang supaya ahli dibidangnya, yakni menjadi seorang istri dan ibu. Serta kita dirangkul untuk membersamai teman-teman yang lain sebagai Ibu yang akan membangun sebuah peradaban yang lebih baik. 

Luar biasa. Alhamdulillah. Alhamdulillahi robbil 'alamiin.

Kita akan menemukan teman-teman dengan satu tujuan. Perkumpulan sehat yang memiliki support system dan pondasi yang baik. Dan yang paling penting, berjuang bersama-sama berharap akan ridhoNya. Masyaa Allah.

Saat kita tahu dan sadar apa misi spesifik hidup kita, kita menjadi lebih tangguh, lebih efektif dan mantap saat melangkah. Tidak mudah diombang-ambingkan tren atau informasi yang terlalu banyak hilir mudik di kehidupan. Niat kita menjadi tegak, lurus, lillahi ta'ala. Lebih kuat dari yang sebelumnya, insyaAlloh. 

Menjadi seorang Ibu adalah menjadi pembelajar sejati. Ibu yang tangguh adalah ibu yang memiliki kecerdasan adversity. Kecerdasan untuk selalu berikhtiar dalam mengatasi kesulitan hidup, ketahanan dalam menjalani masalah dan mencari solusinya dengan tenang dan sabar.

Menjadi seorang manusia berarti siap untuk berjihad, siap bermanfaat untuk banyak orang. Karena tentu saja, kita butuh benih yang ditanam untuk kemudian bisa dipanen. Kita yang butuh untuk menjadi bermanfaat, walaupun orang lain tidak merasakannya. Kita yang butuh berdakwah, bukan agama yang butuh kita. Menjalani misi kehidupan yang tidak bertentangan dengan mimpi pribadi. Menginspirasi dan berbahagia atas pencapaian dan kebermanfaatannya sebagai manusia dengan mukhlis lillahi ta'ala.

Kelas matrikulasi ini menyajikan materi, tugas, tenggat waktu, pembahasan serta tanya jawab yang dipandu oleh teman-teman seperjuangan yang memulai lebih dulu dengan segudang ilmu yang mereka dapatkan dari ibu Septi dan tim-nya. Dibimbing untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.

Menjadi Ibu profesional bukan berarti menjadi ibu yang tidak pernah salah. Melainkan, menjadi ibu yang mau terus belajar dan berproses untuk memantaskan diri menapaki universitas kehidupan dengan kecerdasan adversity yang baik, ilmu yang mumpuni, mimpi yang direalisasikan serta kerendahan hati dan niat yang tulus demi mendapatkan apresiasi dari Allah semata.

Dalam prosesnya tentu tidak mudah, selalu ada khilaf dan salah bahkan mungkin berdarah-darah. Tapi jangan sampai semua itu menjadi alasan untuk menyerah. Kita tidak boleh kalah!

Salam Ibu Profesional.



**
Terimakasih tak terhingga untuk Ibu Septi, Pak Dodik dan para fasilitator IIP kelas matrikulasi. Kalian luar biasa, mudah-mudahan Allah selalu beri hidayahNya kepada kita.

Alhamdulillahi jazaa kumullohu khoiroo untuk suami tercinta dan anak laki-laki tersayang amih atas support dan kerjasamanya. Kita bisa! ❤