Saturday, July 29, 2017

Sakinah yang Kita Cari

Yang dicari dalam pernikahan salah satunya adalah sakinah. Sakinah itu tenang, tenteram, damai.

Menjadi keluarga sakinah itu nggak ujug-ujug. Ada harga yang harus dibayar. Apa itu? Tentu saja ketakwaan. Ketaatannya terhadap Allah, Rasul.

Pikirkan kembali baik-baik mengapa ingin menikah. Karena proses ibadah ini akan sangat panjang. Selain butuh ilmu, ia juga membutuhkan mental.

Menyendirilah sejenak.
Komunikasikan segala kegelisahan dan kealfaan kita kepadaNya di sepertiga malam.
Singkirkan ego dan pikiran-pikiran kita tentang dunia.

Karena lewat menikah, jalan surga kita lebih mudah. Hisaban yang sebenarnya begitu banyak, Allah beri potongan kepada muslimah melalui pernikahan.
Bersyukurlah.

Menikahlah karenaNya, menikahlah sesuai dengan koridorNya. Menikahlah karena banyak harapan yang ingin kita capai untuk mendapatkan ridhoNya.

Sakinah yang kita cari insyaAllah akan hadir dalam rumah. Bertemu pasangan bawaannya sumringah. Sebal, marah, lelah sampai rumah hilang seketika, Alhamdulillah.

Tidak seperti diluar sana yang mencari-cari ketenangan pada dunia. Dikantor ruwet, sampai rumah mumet. Suami kesal istripun bengal. Lingkaran setan yang sempurna karena lupa pada TuhanNya.

Sakinah itu tak dapat kita upayakan tanpa menjadi orang islam yang kaaffah.
Sakinah itu rezeki yang mahal.
Allah berfirman, hanya muslim beriman dan taat yang dapat merasakannya.

Semoga Allah selalu mudahkan langkah hijrah kita. Semoga Allah barokahkan keinginan-keinginan baik kita.



#empoweringmuslimah ❤

Ilmu dulu, sebelum Beramal


Tentang jodoh yang sedang kau renung-renungkan semalaman. Saran saya, jangan terlalu pusing memikirkannya.

Sibuk memasang kriteria. Baik, sholih, tampan, mapan, berkepribadian. Punya rumah pribadi, apartemen, dan kolam renang.

Tentang dirimu yang kau pandang-pandangi semalaman. Kurang putih, kurang langsing, kurang tinggi.

Sibuk mempercantik diri dengan jilbab lilit sana lilit sini, beserta perintilan make up dan aksesoris yang harganya tak tanggung-tanggung jika dibelikan garam.

Sungguh, mereka itu tak seindah kelihatannya. Tak segenting yang kita kira. Karena dalam rumah tangga yang bisa 'menjaga', insyaAllah, ilmu yang diikhtiarkan pencariannya. Serta seberapa dekat kita kepadaNya.

Masalah jodoh sudah ada pasangannya. Jodoh bukan sendal yang bisa saja tertukar. Tenang saja, insyaAllah ada gilirannya.
Namun, di dalam Islam yang berat justru menjaga pernikahannya. Melewati bahtera kehidupan bersama. Menjadi istri sekaligus teman seperjuangan mencari surga.

Apa mudah? Ya, tentu tidak. Menikah ialah ibadah serta ujian terpanjang dalam kehidupan. Yang saat kita gelisah, dia bisa buat tenang, disaat kita tenang, dia bisa juga buat kita gelisah.

Ilmu agama adalah pondasi berumah tangga, pondasi awal dalam setiap amalan. Kenikmatan membersamai Allah dalam segala aktifitas kita adalah maintenance-nya.

Allah akan mudahkan jalan kita. InsyaAllah.

Kita dimudahkan bertemu dengan yang salih, lengkap dengan tata cara hidup yang benar dalam Alquran. Juga dikuatkan saat guncangan-guncangan dalam rumah tangga melanda. Ditenangkan. Diberikan sakinah, mawaddah dan rohmat. Masyaa Allah.

Jadi sebelum sibuk dengan "siapa jodoh saya", "apakah saya terlihat cantik?" Sungguh bijak jika kita memprioritaskan ilmu agama. Ilmu menghadapi bahtera rumah tangga, kelak.

Merintis kenikmatan-kenikmatan mencari ilmu beserta perasaan membuncah saat mengamalkannya. Merenungi dosa-dosa yang bertumpuk dengan derai-derai air mata dalam taubatan nasuha.

InsyaaAllah, Allah beri ilmu dan kekuatan. Allah berikan pasangan. Karena kebahagiaan yang haqiqi dalam pernikahan ialah perjalanan untuk saling surga-mensurgakan.

#empoweringmuslimah ❤

Friday, July 28, 2017

Passion atau Calling?

Menjadi Ibu Rumah Tangga itu bukan passion saya. Passion saya kerja. Iya, saya betah berlama-lama dikantor. Disuruh ngerjain 3 task saya berani kasih 5 atau 7 buat kantor. Saya pegawai yang loyal, simply karena saya suka banget kerja dan saya merasa bersyukur, saya selalu belajar disetiap tugas yang diberikan.

Tapi bener nggak ya, passion saya kerja. Bosen sama kerjaan pasti pernah, lah ya. Katanya kalo passion nggak boleh bosen? Tapi ya masa gitu amat, namanya berkecimpung di dunia itu bertahun-tahun?
Tapi saya orangnya passionate banget sih saat kerja, pun belajar (saat ini, sih. Jaman SMA kayaknya nggak hahahaha)

Katanya juga passion itu pencarian seumur hidup. Jadi kalo ditanya nulis itu passion atau nggak? Kayaknya nggak, hobi aja. Soalnya saya kalo nggak nulis ya nggak apa-apa. Jadi kenapa-kenapa karena saya kebanyakan ide. Agak ganggu banget, sih. Pengen banget gitu ngeblog berbagai macam hal tapi merasa nggak ada waktu. Dan saya berakhir baik-baik aja padahal banyak ide buat nulis. Tapi waktu jamannya kerja, pasti ada banget yang aneh kalo nggak kerja. Kalo kerjaannya dikit atau leha-leha. Eh, jangan-jangan passion saya itu di pembukuannya, bukan di kerja? Hahaha.

Nggak sih, saya terlampau cinta sama kantor lama saya. Atmosfernya, ekskulnya, mesjidnya, toiletnya, gedungnya, kubikelnya, mengeluarkan energi berpikirnya, kantinnya almost semuanya. Dan saya senang berada disana dan sibuk. Dan berguna. Dan berfaedah. Jadi saya seneng kerja kan, ya? *malah balik nanya* 😅

Untuk menjadi pro dibidangnya, orang perlu mengetahui passion yang dimiliki sedini mungkin. Buat yang belum menemukan passion, ya gali terus. Kita nggak pernah tau di depan kita nanti akan ada apa.

Tapi, nggak semua passion bisa buat bahagia, menurut saya. Karena ada 'calling'. Menjadi Ibu Rumah Tangga adalah calling. Panggilan jiwa, panggilan hidup. Hidup ini untuk apa? Untuk siapa? Mau cari apa?

Nah, misalnya passionnya travelling tapi nggak punya duit, terus gimana mau jalan-jalan? Bekerja di korporasi dan punya duit dan bisa jalan-jalan kan lebih enak, bukannya?

Atau passionnya fotografi tapi punya istri dan anak yang kalo ngandelin fee dari passion itu ya mana cukup, akhirnya bekerja sesuai ijazah S1 demi ngasih yang terbaik buat keluarga, apa salah? Ya, nggak dong. Bahagia pula kan bisa bahagiain keluarga? Calling itu semacam itu.

Letak kebahagiaan itu bukan di passion, tapi di rasa bersyukurnya.

Saya kuliah nggak sesuai yang saya minati, so far ya so good aja, tuh. Saya menikmati. Mungkin ada rasa syukur disana, ditambah ridho orang tua. Hasilnya? Luar biasa. Walaupun cuma lulusan PTS, saya bisa cum laude. Saya bisa bekerja di korporasi yang bergengsi di Jakarta. Allah paring saya nggak ngeluh dan bersyukur menjalaninya. Jadi hasilnya ya Alhamdulillah.

Coba bayangkan orang yang kuliahnya nggak sesuai dengan yang dia minati, ditambah dia jadi ngeluh mulu dengan keputusannya kok mau aja nurut sama orang tua. Ditambah lagi dia benci sama jurusannya. Sama semua hal yang berbau dengan jurusan itu, trauma. Kasian kan? Hasilnya nggak ada apa-apanya, padahal dia fight keadaan itu bertahun-tahun.

Padahal perbedaannya sereceh rasa syukur sama nggak, doang. Tapi efeknya bisa merubah takdir dan kehidupan. Masyaa Allah.


Passion dan Calling terkadang memicu pergulatan bathin. Saya berani menuntaskan perang bathin saya dengan memilih sebagai Ibu Rumah Tangga. Ini sulit, tapi demi kedamaian jiwa saya.

Menurunkan ego dan memilih untuk memberdayakan potensi saya dirumah bukan berarti karena saya tidak mempunyai pilihan pun juga karena saya tidak berprestasi di kantor. Melainkan skala prioritas keluarga adalah kewajiban, yang bagi saya, sulit untuk disub-kontrakkan untuk saat ini.

Menjadi Ibu Rumah Tangga bukan berarti berdiam diri, mengabaikan potensi, tetapi memaksimalkan kemampuan. Sama seperti di kantor, saya harus profesional. Sama seperti saat kuliah, kalo perlu saya harus cum laude lagi. Untuk apa? Untuk pahala. Untuk jariyah saya, nanti.

Tujuan hidup yang cuma satu itu memang jalan jihadnya bisa lewat mana saja dan salah satunya ialah menjadi Ibu Rumah Tangga.

Hal ini tentu saja bisa berbeda dengan teman perempuan-perempuan yang mengemban ilmu untuk kemashlatan umat seperti dokter, perawat, guru, ustadzah, bidan dan lain sebagainya. Kalau nggak ada perempuan di bidang-bidang tersebut, insyaAllah kita juga yang jadi bingung.

Jadi, temukan passionmu. Jika ia tak bisa menjadi tempat maisyah atau tempat bahagiamu, kamu hanya perlu tau untuk apa kamu hidup. Untuk apa Allah menciptakanmu, maka insyaAllah hidupmu jauh lebih tenang ketimbang orang yang hanya menjalankan passionnya tanpa mengenal arti hidupnya. Tanpa dekat dengan Tuhannya.

#empoweringmuslimah

Komunikasi Dengan Pasangan


Kita boleh jadi memiliki Frame of Reference (FoR) dan Frame of Experience (FoE) yang berbeda dengan pasangan. Mungkin banyak, bahkan seringkali menimbulkan "gesekkan" dalam rumah tangga.

One of his best attitude, All praises to Allah, Alhamdulillah. Alhamdulillaah. Saya sangat bersyukur pasangan saya 'mostly' bisa menerima dan mencoba memahami pandangan dan pengalaman yang berbeda dari saya.

Why 'mostly'? karena memang nggak selalu~

Pasti ada gesekkan dalam rumah tangga, insyaAllah. Pendapat kita nggak melulu sama tentang segala hal. Apalagi punya istri yang kritis, tumbuh dalam keluarga demokratis dan sok tau macam saya hahahaha. Sabar-sabar ya pak suami, luv! ❤

Pun begitu saya mencoba memahami frame of references-nya dan frame of experience-nya sebagai anak bungsu yang hidupnya, bisa dikatakan selalu dimudahkan oleh Allah.

Kita dilahirkaan oleh ayah ibu yang berbeda, tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang berbeda, belajar pada kelas yang berbeda, mengalami hal-hal yang berbeda.

Tetapi tentu ada yang perlu saya garisbawahi mengenai pentingnya menikahi dengan seseorang yang pemahaman agamanya baik.

Dengan BERSAMA-SAMA mengusahakan pemahaman Islam yang baik, maka segala sesuatunya insyaAllah lebih mudah. Hanya perlu menyesuaikan dengan Alquran dan Alhadits.

Landasannya jelas dan tak terbantahkan sehingga hal ini sangat meminimalisir komunikasi tidak produktif (bermasalah), yang seringkali merupakan awal dari tidak rukunnya berumah tangga.

Bersama-sama berjuang. Tentu saja karena ini adalah ikhtiar yang panjang dari kedua belah pihak.



Pemahaman agama yang baik, dilengkapi dengan kemampuan berkomunikasi, sadar juga dewasa dalam memberikan/menerima pendapat orang lain, (khususnya pasangan) serta tidak MEMAKSAKAN pendapat, akan berdampak pada perjalanan hidup berumah tangga yang terasa jauh lebih mudah dan menyenangkan. Insya Allah.

Sejak awal menikah, dengan modal bawaan komunikasi seadanya-semampunya, kami bersyukur #KomunikasiProduktif yang kami jalani, meskipun belum sempurna, namun terasa semakin baik kualitasnya. Alhamdulillaaah.

Sehingga jujur dalam berumah tangga saat ini, tantangan-tantangan serta perbedaan-perbedaan yang kami hadapi, seringkali terselesaikan dengan baik dan (semoga) tak pernah ada perasaan yang 'mengganjal' diantara kita. Alhamdulillaaah. Segala puji bagi Allah yang memberikan kemudahan-kemudahan dalam berumah tangga. Semoga akan selalu dan selalu diberikan kemudahan, kebarokahan serta hidayah dan lindunganNya. Aamiin :')

#kuliahBundaSayang #kuliahbunsayiip #level1 #komunikasiproduktifdenganpasangan #tantangan10hari #harike9