Wednesday, August 2, 2017

Tentang Menikah (1)


Bayang-bayang indahnya kebersamaan dalam sebuah mahligai rumah tangga insyaAllah sering muncul di hati para singlewan/singlewati.

Hal ini, wajar saja terjadi karena manusia secara naluriah memang ingin hidup berdampingan, butuh teman, perlu berkembang biak dan sebagainya, dan sebagainya.

Saat ini, kita (saya kali, ya maksudnya) seringkali melihat atau mendengar seruan kepada pemuda/i untuk segera menikah. Tanpa mengurangi rasa hormat atas niat baik tersebut, penting bagi saya untuk mengungkapkan hal ini.

Saya wondering bagaimana ketahanan diri dan upaya merek menuju ke jenjang pernikahan setelah dikompor-kompori dengan berbagai macam sindiran baik langsung maupun tidak langsung, dipertanyakan statusnya dengan baik-baik maupun dengan tidak baik.

Apakah para pemuda yang 'ditantang' untuk segera menikah ini sudah siap, baik lahir maupun bathinnya?

Apakah para pemuda-pemudi ini sudah sedikit banyak faham tentang ilmunya?

Apakah pemuda-pemudi ini sudah paling tidak, mengerti dengan baik dan benar bab tentang thoharoh/kesucian?

Apakah pemuda-pemudi ini sudah betul-betul siap diamanahi sesuatu yang luar biasa besar dengan berbagai suka dukanya?

Apakah mereka benar-benar sadar dan ikhlas dan sabar saat menentukan pilihan untuk menikah?

Ataukah itu hanya rasa terburu-buru akibat pressure lingkungan yang bahkan tidak memfasilitasi ilmunya?

Ataukah itu hanya rasa penasaran dari gembar gembor overclaim sebuah citra pernikahan yang tak peduli bagaimana perjalanan penuh kerikilnya?

Ataukah itu hanya syahwat yang membara dan tak tertahankan?

Ataukah itu hanya sebagai pembuktian naik level ke status berikutnya?

Kenapa sih, saya berpikir sampai sejauh ini? Karena jaman saya muda, saya pun juga merasakan minimnya fasilitas ilmu ke arah sana. Saya USAHA SENDIRI belajar, mencari dan mendekati majlis-majlis ilmu ataupun buku-buku yang berhubungan dengannya.

Ilmunya nggak ujug-ujug ada. Nggak tiba-tiba datang sendiri. Ada waktu, tenaga, usaha, uang yang perlu dikeluarkan untuk berikhtiar mengkaji sebelum beramal.

Kenapa waktu jaman nabi banyak yang nikah muda? Karena can you imagine, mereka abis baligh aja udah maju ke medan perang. Udah jadi pemimpin perang. Mereka mencapai usia baligh dibarengi dengan kematangan psikis dan cara berpikirnya. Mereka baligh di usia, katakan 12-15 tahun, bersamaan dengan kemampuan berpikir, memilih, dan mengambil keputusan yang baik. Pendidikannya jauh berbeda dengan pemuda-pemudi saat ini yang nilai oriented. Mata pelajaran/sks oriented. Sementara ilmu agama dikesampingkan, orang tua pun ikut mensukseskan program prestasi dunia lebih penting ketimbang bekal hidup untuk akhirot.

Pembelajaran tentang agama nggak sebanding dengan usia yang semakin menua. Kebanyakkan dati mereka belum siap berumah tangga karena jiwanya tidak dipersiapkan untuk itu (tugas orang tua). Pun tidak berusaha juga untuk mempersiapkan hal itu (ikhtiar dari diri sendiri).

Hal ini tentu membuat saya, dan beberapa teman sedih. Saya prefer mengajak orang untuk cari ilmu dulu yuk, yang banyak. Jangan tanggung-tanggung.

Masa-masa singlenya dipakai untuk hal-hal yang bermanfaat, termasuk dipakai untuk mengupgrade ilmu tentang pernikahan. Jangan nilai kuliah aja mati-matian diperjuangin, tapi nilai-nilai kehidupan berumah tangga diantepin.

Biasanya hal ini disebut dengan memantaskan diri. Apakah saya benar-benar pantas untuk diamanahi Allah sebuah pernikahan?

Nikah itu nggak sekedar happy-happy macem endingnya drama korea. Ada segudang amanah yang perlu ilmu sekecamatan. Ada suka duka yang perlu banyak keikhlasan juga kesabaran.

Deket sama Allah aja kadang-kadang, upgrade ilmunya ogah-ogahan, kedewasaan masih jauh dari usianya, eh, mau nikah? Astagfirulloh..

Saya ngeri, seriously. Bagi anak-anak pengurus yang "hubungan" dengan ayahnya baik, insyaAllah sering denger selentingan-selentingan tentang kasus cerai.

Terkadang mendengar saat orangnya datang langsung ke rumah, curhat sama bapak kita.

Beberapa tak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan ibu kita.

Terkadang ayah menasihati kita dengan berbagai petuah kehidupannya, hikmah-hikmah yang bisa ia bagikan dari berbagai kasus perceraian anak-anak muda saat ini.

Masalah cerai yang perlu kalian ketahui sebagai hikmah kita bersama itu seringkali cuma masalah sepele.

- Istrinya nggak mau buatin suaminya kopi
- Nggak cocok sama design rumah
- Beda pendapat
- Berantem-berantem kecil yang lama-lama menggunung karena penyelesaiannya nggak pernah tuntas
- Gagal move on dari mantan (terus, ngapain milih nikah, sik? Move on aja belom, duh. -_-)
- dan buanyak lagi.

Maksudnya saya apa sih ngejembrengin kasus-kasus itu? Supaya kita dan teman-teman kita yang belum nikah itu sadar bahwa cobaan nikah itu nggak segampang ijab kabulnya.

Supaya kita sama-sama mengerti bahwa syetan benci pernikahan dan akan terus menggoda pondasi dasar itu supaya hancur, karena Allah benci perceraian. Jadi kalau ada alasan-alasan cerai yang terlalu sepele, itu sangat mungkin terjadi. Karena syetannya yang goda juga nggak tanggung-tanggung melakukan aksinya.

Semua hal diatas membuat saya selalu merasa terpanggil untuk meng-encourage teman-teman, yuk sama-sama belajar tentang sebuah ikatan suci ini. Ikatan yang nggak bisa putus-nyambung seenak lidah kita. Mental pacaran jangan sampai dibawa ke pernikahan.

Diluar semua motivasi menggembor-gemborkan nikah muda baik ke pemudanya maupun ke orang tuanya, yuk, kita ambil peran sebagai orang yang memfasilitasi dibidang keilmuannya.

Yuk, kita teladani teman-teman kita supaya mau membaca kisah-kisah nabi dengan para istri. Begitu pula kisah-kisah sahabat lainnya. Bagaimana mereka bersikap, menghormati, menghargai, rebutan ngalah dan toleransi dengan pasangan.

Bagaimana nabi menjaga perasaan Aisyah saat ia membuat minumannya dengan garam, bukan dengan gula.

Bagaimana Ibu Khodijah menyemangati dan menenangkan Nabi, mensupport Nabi saat Nabi ketakutan bahkan sampai menggigil ketika mendapat wahyu pertama kali.

Bagaimana respon sahabat Umar saat 'diomeli' istri, dan bagimana-bagaimana yang lainnya.

Maka yuk, teman-teman kita belajar juga menjaga komitmen kita dengan Allah untuk tidak alay, tidak centil terhadap lawan jenis. Baik centil yang diniati tebar benih atau centil yang cuma iseng aja.

Yuk, teman-teman kita belajar menjaga aurot kita semata-mata karena kecintaan kita kepada Allah. Termasuk yang laki-laki juga, ya.

Yuk, ikhwan-ikhwan sholih, komitmen menjaga pandangan. Jangan gampang nge-like muka cantik orang di instagram. Belajar menjaga komitmen kepada Allah dengan menjaga mata serta kemaluannya. Menjaga mata itu termasuk dari ngeliatin foto-foto cantik seseartis di instagram atau dimanapun, yah.

Hal-hal tersebut diatas akan membentuk kita menjadi pribadi yang sadar bahwa menjaga komitmen tidak mudah, tapi HARUS. Membentuk pribadi yang kuat, taat semata-mata ikhlas karena Allah. Sabar menjalani perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Untuk para orang tua, yuk, kita juga harus sadar bahwa pembelajaran tentang pernikahan sebaiknya sejalan dengan usia balighnya. Semuanya tentu bertahap sesuai dengan tahapan usianya.

Yuk, para orang tua juga sibuk saat anaknya menjalani masa ta'aruf. Sibuk istikhoroh, sibuk hajat sebagaimana kita sibuk mencarikannya sekolah terbaik atau universitas ternama. Secara langsung ataupun tidak langsung, ini adalah langkah terakhir kita sebagai orang tua untuk membersamai anak. Tinggalkanlah memori terindah untuk anak-anak dengan membersamainya.

Bersambung..

Dengan segenap kasih sayang sesama orang beriman, catatan pengingat diri, saat ini dan nanti.
Bogor, 2817


No comments:

Post a Comment