Gadis itu menjalani hari seperti biasa. Tak pernah ada yang spesial dalam hidupnya. Pagi hari ke sekolah hingga sore. Pulang ke rumah, jarang berkumpul layaknya teman-teman sepantaran. Makan di kafe, nonton, berfoto ria dalam sebuah kotak sempit di pasar-pasar modern. Bukan apa-apa, tak punya uanglah alasannya. Uang jajan yang sangat minimalis diberikan orang tuanya, hanya mampu untuk menahan rasa laparnya di sekolah, tidak lebih.
Dia sebenarnya menyenangkan, hanya karena minder dengan keadaannya, ia lebih suka menutup diri. Berteman dengan beberapa orang yang baginya aman untuk dikawani. Ia menerima semua nasibnya, jarang sekali mengeluh atau menyesal. Ia menjalani hidupnya dengan lapang. Ia menerima prestasinya yang selalu dikisaran angka 5 sampai 10, di kelas. Ia tidak mengikuti ektrakulikuler apapun. Ia juga tidak mengikuti les tambahan persiapan menuju UAN. Namun, Allah takdirkan hasil ujiannya cukup untuk modal mencari SMA unggulan.
Seiring berjalannya waktu, gadis itu lulus dari sekolah negeri terkemuka di Depok. Takdirnya melempar dia ke kota nun jauh di timur pulau jawa, sana. Mondok. Orang tuanya berharap agamanya terjaga dari carut-marut dunia.
Sejak saat itu nasibnya berubah total. Gadis yang tak pernah dilirik dari prestasi maupun aksesoris diri ini kini menjadi idola di sekolahnya. Tak hanya pria, wanitapun menyematkan predikat cantik yang tak pernah ia dapatkan di sekolah menengah pertamanya. Sungguh ia tak mengerti standar kecantikkan pada umumnya, yang ia tahu bahwa dirinya tidak cukup buruk, namun tetap hanya butiran debu belaka jika dibandingkan teman-teman SMPnya.
Prestasinya melambung di angka empat saat semester pertama, dan menjadi yang pertama saat di semester kedua. Temannya banyak. Teman yang benar-benar teman, dan teman yang hanya mengharapkan keuntungan. Dia dipercaya menjadi ketua kamar di asrama. Dia sibuk di kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi. Dia benar-benar berubah. Sekalipun uang kiriman dalam porsi minimalisnya tak pernah berubah, namun kini ia berubah. Dia tumbuh menjadi gadis yang percaya diri. Dia menyadari dirinya berharga dan dibutuhkan.
***
Ia menjadi mahasiswa yang menyenangkan, supel dan terbuka. Semua orang bisa akrab dengannya. Namun hidup tak pernah berhenti sampai di sana. Kampus swasta yang hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi beban tersendiri untuknya. Ia menerima, bahwa setiap manusia berhak memilih pandangannya. Ia tak akan memohon sambil memperlihatkan hasil IQ atau IPKnya hanya untuk dihargai sebagai seorang manusia. Tuhan selalu punya cara dalam mengajarkan hamba-hambaNya.
Ingatannya kembali ke masa kecilnya, saat guru-guru TK sibuk mempertanyakan kalung oleh-oleh dari Mekkah sana. Mempertanyakan kendaraan mewah yang orang tuanya miliki, setelah acara gerak jalan bersama melewati depan rumahnya. Haruskah setiap manusia hanya dihargai dari covernya? Haruskah setiap manusia diapresiasi hanya dari materi dan perintilan-perintilan yang tidak pernah mereka bawa mati? Hatinya sesak. Semakin dewasa, tentu ia akan akan semakin banyak menemui manusia berkedok manusia. Pura-pura menjadi manusia, padahal bukan.
Lagi-lagi coretan takdir baik membawanya menuju sebuah perusahaan ternama. Si gadis yang dipandang sebelah mata dapat membuktikan kemampuannya. Atau lebih tepatnya, Allah mengabulkan setiap inci doa-doa orang yang teraniaya. Doanya terbang ke atas, menembus langit tanpa alang-alang.
Kini gadis tersebut telah menjadi seorang Ibu. Dengan rentang waktu dan lika-liku perjalanan hidupnya, ia banyak menemukan hikmah-hikmah kehidupan yang berserakkan. Ia bersyukur di usianya yang belia, dia sudah banyak memakan asam garam kehidupan. Berharap bisa selalu menjadi seseorang yang tawakkal dan beriman.
Adakah kebahagiaan yang lebih indah daripada rasa percaya dan cinta kepada Tuhan?