Saturday, December 2, 2017

Every Mom Has Their Own Battle


Sejak abang 6 bulan saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya.

Berat badannya yang mandeg di angka segitu-segitu saja, membuat saya tidak bisa menunda-nunda lagi keputusan ini.

Usut punya usut, jumlah menyusu ASI pada botol dalam satu hari kurang dari yang biasanya. Entah sang nenek yang mulai lelah harus menyusui via botol karena bayi sudah lebih aktif dan ekspresif atau proses pencairan ASI-cuci botol-strerilisasi-mandiin-nyebokin dan lain sebagainya yang tentu saja tidak bisa dikatakan mudah.

Neneknya, yang mana adalah ibu saya, pun memberikan MP-ASI sejak di usia 4 bulan tanpa sepengetahuan saya, padahal abang punya masalah pencernaan; salah satunya alergi susu sapi serta turunannya.

Saya semakin sedih bukan kepalang. Rasanya ingin marah tapi ini jelas kesalahan saya. Benar-benar salah saya.

Salah saya memberikan kepercayaan kepada orang lain yang bukan tanggung jawabnya, salah saya mau saja didukung untuk tetap bekerja, biar abang dijaga nenek di rumah. Saya menghiraukan naluri keibuan saya untuk tetap ingin menjaga, merawat, dan memberikan kasih sayang sepenuhnya setelah selesai cuti melahirkan.

Resiko paling besar menitipkan anak kepada orang lain, ya tentu saja perawatan, pendidikan dan pembentukan dirinya tidak bisa 100% seperti yang kita harapkan. Sedangkan jika pun kita yang menjaga merawatnya sendiri pun belum tentu bisa mencapai 100% harapan kita, apalagi dijaga dan dirawat orang lain.

Well, what do you expect?

Pergolakan batin ini menjadi berat karena saya sangat suka bekerja. Saya yakin setiap orang memiliki kesenangannya masing-masing, dan saya senang berhadapan dengan komputer, berpikir, serta melakukan sesuatu yang bermanfaat bahkan menghasilkan.

Karir saya pun tidak terbilang jelek. Harapan-harapan menaiki tangga managerial/profesional atau pindah ke kantor established lain yang atmosfernya lebih menyenangkan dengan banyak fasilitas, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin saya capai. Semua seperti mimpi-mimpi yang bisa saya dapatkan hanya dengan beberapa langkah lagi saja.

Saya mencintai kesibukkan saya di kantor yang rapi dan wangi, di perjalanan menuju dan pulang kantor, berinteraksi dengan banyak manusia dengan pola pikir yang luar biasa, merasa produktif, bermanfaat dan mendapatkan uang, tentu saja.

Walaupun pada saat itu saya memilih untuk resign, menghentikan perjalanan karir saya karena dilanda emosi yang tak bisa dilukiskan. Marah, sedih, kalut, kesal, kecewa terhadap diri sendiri, semua bercampur menjadi satu, namun akhirnya kejadian ini malah menjadi titik balik hidup saya.

Hidup bukan hanya untuk kesenangan semata. Hidup bukan hanya untuk egoisme saya saja. Saya telah memutuskan menikah, berarti saya harus siap di rumah, karena makhluk kecil itu terlalu berharga untuk tidak melihat ibunya 6x10jam dalam seminggu. Suami saya terlalu berharga untuk diurusi oleh si embak yang bahkan tidak diijab kabul olehnya.


Perasaan ini tentu saja timbul tenggelam. Perasaan merasa mampu menjadi sukses di ranah publik. Perasaan ingin mendapatkan penghasilan lebih dan lebih banyak lagi.

Maka, benarkah saya harus mengikuti kebahagiaan (baca: ego) saya? Atau sebenarnya saya hanya ingin keluar dari rutinitas ibu rumah tangga yang melelahkan dan jauh lebih berat tanggung jawabnya?

Jangan-jangan saya hanya ingin mencari pelarian atau tempat aman dari yang namanya tanggung jawab berumah tangga.

Lalu saya akan menemukan nasihat-nasihat atau ceramah via sosmed yang menampar-nampar saya.

Segenting apa saya harus bekerja?

Kesenangan pribadi?

Apakah saya yakin dan bisa menjaga diri dari ikhtilat dengan kaum laki-laki? Sementara kalau telat ke kantor saya akan terburu-buru masuk gerbong kereta mana saja dan bersenggolan dengan mahkluk lawan jenis, belum lagi di transportasi umum lainnya.

Beberapa teman muslimah saya dengan santainya salaman-mencolek-dicolek dengan rekan kerja yang bukan muhrim. Yang lainnya melakukan keriaan dengan berkaraoke bersama, padahal suara adalah aurat; hampir seluruh bagian wanita adalah aurat.

Bisakah saya menghindari itu?

Bisakah saya menjadi Ibu yang tidak menelantarkan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga?

Bisakah saya berpakaian sesuai syariat sehingga benar-benar terjaga lekuk-lekuk tubuh saya karena hidup saya kelak akan dipenuhi laki-laki lain?

Apakah saya tidak bersuami atau tidak ada seseorang yang mau menafkahi hidup saya, sehingga perlu mencari nafkah sendiri?

Apakah rezeki dari suami tidak cukup untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup, bukan biaya gaya hidup?

Apakah pekerjaan saya sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak ada laki-laki yang bisa menggantikan perannya?

Semua pertanyaan tersebut dengan yakin saya jawab tidak.

Lalu ketergesaan serta alasan apa yang mengharuskan saya meninggalkan rumah?


Dan perasaan-perasaan ini seringkali muncul hanya untuk menggoyahkan hati dan prinsip saya. Tidak semua yang kita senangi dan kita inginkan bisa tercapai, dan atau diizinkan oleh Allah. Saya mencoba berdamai dengan diri saya. Karena tentu, segala sesuatu yang berlandaskan wahyu, selalu lebih menenangkan.

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu ….” 
(QS. Al-Ahzab:33)

Kemudian menatap mereka berdua di malam hari menjadi suatu ketenangan bagi saya. Sekalipun saya belum sempurna, biarlah saya yang mengais-ngais pahala dari dalam rumah. Biarlah saya menahan ego ini, mudah-mudahan Allah ridho dengan menjadikan saya akar yang dapat menguatkan pondasi rumah tangga kita. Mudah-mudahan Allah memampukan serta menguatkan saya untuk bertahan dalam prinsip ini. Mudah-mudahan Allah selalu menampar-nampar saya dengan nasihat jika ada keinginan yang hanya dilandasi hawa nafsu belaka.

Sehingga suami saya bisa menjadi batang yang tangguh, padat dan menjulang tinggi.

Sehingga anak-anak saya bisa menjadi buah-buahan yang besar nan manis.

Aamiiin..