Saturday, December 2, 2017

Every Mom Has Their Own Battle


Sejak abang 6 bulan saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya.

Berat badannya yang mandeg di angka segitu-segitu saja, membuat saya tidak bisa menunda-nunda lagi keputusan ini.

Usut punya usut, jumlah menyusu ASI pada botol dalam satu hari kurang dari yang biasanya. Entah sang nenek yang mulai lelah harus menyusui via botol karena bayi sudah lebih aktif dan ekspresif atau proses pencairan ASI-cuci botol-strerilisasi-mandiin-nyebokin dan lain sebagainya yang tentu saja tidak bisa dikatakan mudah.

Neneknya, yang mana adalah ibu saya, pun memberikan MP-ASI sejak di usia 4 bulan tanpa sepengetahuan saya, padahal abang punya masalah pencernaan; salah satunya alergi susu sapi serta turunannya.

Saya semakin sedih bukan kepalang. Rasanya ingin marah tapi ini jelas kesalahan saya. Benar-benar salah saya.

Salah saya memberikan kepercayaan kepada orang lain yang bukan tanggung jawabnya, salah saya mau saja didukung untuk tetap bekerja, biar abang dijaga nenek di rumah. Saya menghiraukan naluri keibuan saya untuk tetap ingin menjaga, merawat, dan memberikan kasih sayang sepenuhnya setelah selesai cuti melahirkan.

Resiko paling besar menitipkan anak kepada orang lain, ya tentu saja perawatan, pendidikan dan pembentukan dirinya tidak bisa 100% seperti yang kita harapkan. Sedangkan jika pun kita yang menjaga merawatnya sendiri pun belum tentu bisa mencapai 100% harapan kita, apalagi dijaga dan dirawat orang lain.

Well, what do you expect?

Pergolakan batin ini menjadi berat karena saya sangat suka bekerja. Saya yakin setiap orang memiliki kesenangannya masing-masing, dan saya senang berhadapan dengan komputer, berpikir, serta melakukan sesuatu yang bermanfaat bahkan menghasilkan.

Karir saya pun tidak terbilang jelek. Harapan-harapan menaiki tangga managerial/profesional atau pindah ke kantor established lain yang atmosfernya lebih menyenangkan dengan banyak fasilitas, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin saya capai. Semua seperti mimpi-mimpi yang bisa saya dapatkan hanya dengan beberapa langkah lagi saja.

Saya mencintai kesibukkan saya di kantor yang rapi dan wangi, di perjalanan menuju dan pulang kantor, berinteraksi dengan banyak manusia dengan pola pikir yang luar biasa, merasa produktif, bermanfaat dan mendapatkan uang, tentu saja.

Walaupun pada saat itu saya memilih untuk resign, menghentikan perjalanan karir saya karena dilanda emosi yang tak bisa dilukiskan. Marah, sedih, kalut, kesal, kecewa terhadap diri sendiri, semua bercampur menjadi satu, namun akhirnya kejadian ini malah menjadi titik balik hidup saya.

Hidup bukan hanya untuk kesenangan semata. Hidup bukan hanya untuk egoisme saya saja. Saya telah memutuskan menikah, berarti saya harus siap di rumah, karena makhluk kecil itu terlalu berharga untuk tidak melihat ibunya 6x10jam dalam seminggu. Suami saya terlalu berharga untuk diurusi oleh si embak yang bahkan tidak diijab kabul olehnya.


Perasaan ini tentu saja timbul tenggelam. Perasaan merasa mampu menjadi sukses di ranah publik. Perasaan ingin mendapatkan penghasilan lebih dan lebih banyak lagi.

Maka, benarkah saya harus mengikuti kebahagiaan (baca: ego) saya? Atau sebenarnya saya hanya ingin keluar dari rutinitas ibu rumah tangga yang melelahkan dan jauh lebih berat tanggung jawabnya?

Jangan-jangan saya hanya ingin mencari pelarian atau tempat aman dari yang namanya tanggung jawab berumah tangga.

Lalu saya akan menemukan nasihat-nasihat atau ceramah via sosmed yang menampar-nampar saya.

Segenting apa saya harus bekerja?

Kesenangan pribadi?

Apakah saya yakin dan bisa menjaga diri dari ikhtilat dengan kaum laki-laki? Sementara kalau telat ke kantor saya akan terburu-buru masuk gerbong kereta mana saja dan bersenggolan dengan mahkluk lawan jenis, belum lagi di transportasi umum lainnya.

Beberapa teman muslimah saya dengan santainya salaman-mencolek-dicolek dengan rekan kerja yang bukan muhrim. Yang lainnya melakukan keriaan dengan berkaraoke bersama, padahal suara adalah aurat; hampir seluruh bagian wanita adalah aurat.

Bisakah saya menghindari itu?

Bisakah saya menjadi Ibu yang tidak menelantarkan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga?

Bisakah saya berpakaian sesuai syariat sehingga benar-benar terjaga lekuk-lekuk tubuh saya karena hidup saya kelak akan dipenuhi laki-laki lain?

Apakah saya tidak bersuami atau tidak ada seseorang yang mau menafkahi hidup saya, sehingga perlu mencari nafkah sendiri?

Apakah rezeki dari suami tidak cukup untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup, bukan biaya gaya hidup?

Apakah pekerjaan saya sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak ada laki-laki yang bisa menggantikan perannya?

Semua pertanyaan tersebut dengan yakin saya jawab tidak.

Lalu ketergesaan serta alasan apa yang mengharuskan saya meninggalkan rumah?


Dan perasaan-perasaan ini seringkali muncul hanya untuk menggoyahkan hati dan prinsip saya. Tidak semua yang kita senangi dan kita inginkan bisa tercapai, dan atau diizinkan oleh Allah. Saya mencoba berdamai dengan diri saya. Karena tentu, segala sesuatu yang berlandaskan wahyu, selalu lebih menenangkan.

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu ….” 
(QS. Al-Ahzab:33)

Kemudian menatap mereka berdua di malam hari menjadi suatu ketenangan bagi saya. Sekalipun saya belum sempurna, biarlah saya yang mengais-ngais pahala dari dalam rumah. Biarlah saya menahan ego ini, mudah-mudahan Allah ridho dengan menjadikan saya akar yang dapat menguatkan pondasi rumah tangga kita. Mudah-mudahan Allah memampukan serta menguatkan saya untuk bertahan dalam prinsip ini. Mudah-mudahan Allah selalu menampar-nampar saya dengan nasihat jika ada keinginan yang hanya dilandasi hawa nafsu belaka.

Sehingga suami saya bisa menjadi batang yang tangguh, padat dan menjulang tinggi.

Sehingga anak-anak saya bisa menjadi buah-buahan yang besar nan manis.

Aamiiin..




Friday, November 10, 2017

The Left Unsaid

Gadis itu menjalani hari seperti biasa. Tak pernah ada yang spesial dalam hidupnya. Pagi hari ke sekolah hingga sore. Pulang ke rumah, jarang berkumpul layaknya teman-teman sepantaran. Makan di kafe, nonton, berfoto ria dalam sebuah kotak sempit di pasar-pasar modern. Bukan apa-apa, tak punya uanglah alasannya. Uang jajan yang sangat minimalis diberikan orang tuanya, hanya mampu untuk menahan rasa laparnya di sekolah, tidak lebih.

Dia sebenarnya menyenangkan, hanya karena minder dengan keadaannya, ia lebih suka menutup diri. Berteman dengan beberapa orang yang baginya aman untuk dikawani. Ia menerima semua nasibnya, jarang sekali mengeluh atau menyesal. Ia menjalani hidupnya dengan lapang. Ia menerima prestasinya yang selalu dikisaran angka 5 sampai 10, di kelas. Ia tidak mengikuti ektrakulikuler apapun. Ia juga tidak mengikuti les tambahan persiapan menuju UAN. Namun, Allah takdirkan hasil ujiannya cukup untuk modal mencari SMA unggulan.

Seiring berjalannya waktu, gadis itu lulus dari sekolah negeri terkemuka di Depok. Takdirnya melempar dia ke kota nun jauh di timur pulau jawa, sana. Mondok. Orang tuanya berharap agamanya terjaga dari carut-marut dunia.

Sejak saat itu nasibnya berubah total. Gadis yang tak pernah dilirik dari prestasi maupun aksesoris diri ini kini menjadi idola di sekolahnya. Tak hanya pria, wanitapun menyematkan predikat cantik yang tak pernah ia dapatkan di sekolah menengah pertamanya. Sungguh ia tak mengerti standar kecantikkan pada umumnya, yang ia tahu bahwa dirinya tidak cukup buruk, namun tetap hanya butiran debu belaka jika dibandingkan teman-teman SMPnya.

Prestasinya melambung di angka empat saat semester pertama, dan menjadi yang pertama saat di semester kedua. Temannya banyak. Teman yang benar-benar teman, dan teman yang hanya mengharapkan keuntungan. Dia dipercaya menjadi ketua kamar di asrama. Dia sibuk di kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi. Dia benar-benar berubah. Sekalipun uang kiriman dalam porsi minimalisnya tak pernah berubah, namun kini ia berubah. Dia tumbuh menjadi gadis yang percaya diri. Dia menyadari dirinya berharga dan dibutuhkan.

***

Ia menjadi mahasiswa yang menyenangkan, supel dan terbuka. Semua orang bisa akrab dengannya. Namun hidup tak pernah berhenti sampai di sana. Kampus swasta yang hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi beban tersendiri untuknya. Ia menerima, bahwa setiap manusia berhak memilih pandangannya. Ia tak akan memohon sambil memperlihatkan hasil IQ atau IPKnya hanya untuk dihargai sebagai seorang manusia. Tuhan selalu punya cara dalam mengajarkan hamba-hambaNya.

Ingatannya kembali ke masa kecilnya, saat guru-guru TK sibuk mempertanyakan kalung oleh-oleh dari Mekkah sana. Mempertanyakan kendaraan mewah yang orang tuanya miliki, setelah acara gerak jalan bersama melewati depan rumahnya. Haruskah setiap manusia hanya dihargai dari covernya? Haruskah setiap manusia diapresiasi hanya dari materi dan perintilan-perintilan yang tidak pernah mereka bawa mati? Hatinya sesak. Semakin dewasa, tentu ia akan akan semakin banyak menemui manusia berkedok manusia. Pura-pura menjadi manusia, padahal bukan.

Lagi-lagi coretan takdir baik membawanya menuju sebuah perusahaan ternama. Si gadis yang dipandang sebelah mata dapat membuktikan kemampuannya. Atau lebih tepatnya, Allah mengabulkan setiap inci doa-doa orang yang teraniaya. Doanya terbang ke atas, menembus langit tanpa alang-alang.

Kini gadis tersebut telah menjadi seorang Ibu. Dengan rentang waktu dan lika-liku perjalanan hidupnya, ia banyak menemukan hikmah-hikmah kehidupan yang berserakkan. Ia bersyukur di usianya yang belia, dia sudah banyak memakan asam garam kehidupan. Berharap bisa selalu menjadi seseorang yang tawakkal dan beriman.

Adakah kebahagiaan yang lebih indah daripada rasa percaya dan cinta kepada Tuhan?



Wednesday, August 23, 2017

Malam-Malam Minggu Ini

Sore itu aku mencecap kopi hangat dari mesin pembuat kopi instan otomatis yang selalu tersedia di pantry kantor. Seperti biasa, akhir bulan adalah malam-malam panjang yang perlu dilewati teman-teman kuli pencatat laporan keuangan.

Jam menunjukkan pukul 5 sore, biasanya aku udah ngacir ke kosan, nonton drama korea. Hhhhh, tak sadar aku melenguh dan menggaruk-garukkan kepala yang tidak gatal. Kapan balancenya iniiii, huhuhu. Batinku mulai merengek.

Kutatap layar komputer dengan seksama. Berharap angkanya berunah kemudian menjadi balance. Aku mulai berhalusinasi. "Baik, akan kuselesaikan malam ini!" Ucapku pelan dengan semangat 45.

----

Tak terasa jam sudah menunjukkan jam 10 malam. Neraca keuangan yang beratus-ratus milyar itu hampir selesai. Uang yang tidak pernah aku lihat dan sentuh namun dengan ketelitian tingkat internasional aku harus mencatatnya.

Aku merapikan meja dan bersiap pulang. Setelah berpamitan dengan rekan kerja yang lain, aku mempercepat langkahku menuju lift. Selalu, hanya lantai 9 ini yang masih hidup di penghujung bulan. Aku pun tersenyum.

Sampai di lantai dasar, aku menyapa beberapa satpam yang masih berjaga, lalu menyegerakan langkah menuju pintu keluar. Aku menghirup udara malam sedalam-dalamnya. Aahhh, segarnya, batinku sambil meregangkan beberapa anggota tubuh yang kaku.

Kutelusuri trotoar megah kawasan mega kuningan. Sambil merenungi makna kehidupan. Yang salah satunya ialah lingkungan yang supportif akan upgrading kualitas karyawannya serta teman-teman yang menyenangkan.

Minggu-minggu ini sangat melelahkan, namun dalam setiap derap langkahku menuju kost, aku dihadiahi Allah berbagai pemandangan malam yang selalu bisa membuatku bersyukur, aku selalu dilindungi dan diberikan kasih sayang olehNya.

Pic src: detikinet

#rumbelmenulisiipbogor #fiksi #nikmatmingguini

Friday, August 11, 2017

Teman Hidup (2)

"Vey, shubuh.." ucap mama mencoba membangunkanku dari balik pintu.
"Iya, Ma.. Vey sudah bangun.." jawabku menahan isak tangis yang tersisa.

Kami sholat shubuh bersama di mushola kecil lantai 3. Setelah kamar, mushola rumah adalah tempat favoritku. Ayah dan Mama mendesign sedemikian rupa sehingga mushola tersebut sangat nyaman dan tidak pernah membosankan. Mereka letakkan beberapa rak-rak besar berisi berbagai buku termasuk Alquran dan Hadits-Hadits terkenal. Disediakan pula komputer disana yang berisi materi-materi ceramah bernagai ustadz dan pemangkulan mengenai makna dan keterangan yang ada pada Alquran dan Alhadist.

Setelah sholat, aku segera mandi. Pagi hari di akhir minggu ini begitu sibuk. Semua menyiapkan segala sesuatunya dengan sigap. Hari ini adalah hari yang besar untuk keluarga Gunawan.

---

Kami telah sampai di Masjid Baitussalam. Aku segera dipersilahkan masuk ke ruang tata rias. Penata rias sudah siap mempercantik wajahku dihari yang istimewa ini.

Setelah penata rias merasa riasannya sudah paripurna, aku disuruh menunggu sampai dipanggil oleh penghulu saat prosesi ijab kabul telah selesai.

Dari dalam ruangan rias ini aku mendengar suaranya begitu mantap dan tenang.

"Saya terima nikahnya Veyrissa Putri binti Gunawan dengan mas kawin tersebut dibayar Tunai."

"Bagaimana saksi, Sah?"
"Sah."
"Sah, Alhamdulillah"

"Alhamdulillah.. Sah.. Silahkan mempelai wanitanya dipanggil kesini." Ujar Bapak Penghulu kepada panitia yang bertanggung jawab mengantarkanku ke dalam masjid.

Jantungku berdebar semakin kencang. Tak hentinya mulutku merapal doa-doa yang kuketahui. Sekejap aku memejamkan mata, memohon ini bukanlah sambungan peristiwa semalam.

Aku memasuki mesjid yang indah itu, dengan karpet merah nan empuk juga hawa yang dingin, dahiku tetap berkeringat. Terlihat punggung seorang lelaki di depan Ayahku. Ia sedang menandatangani sesuatu.

Sampailah aku di depan meja penghulu. Aku dipersilahkan duduk di samping laki-laki yang membacakan kabul, tadi. Dia menoleh, kemudian tersenyum. Mata indahnya berbinar-binar melihat aku mematung di sampingnya. Seketika hatiku mencelos.

Setelah melakukan prosesi selanjutnya, meminta maaf kepada orang tua, doa dan foto, aku bersama suami diinfokan panitia untuk segera ke ruang rias. Saat ini kami dalam satu ruangan, karena sudah berstatus suami istri.

Dia menggenggam jemariku. Tangannya lembut dan dingin namun berkeringat. Prosesi ijab kabul tadi sepertinya tidak selancar ucapannya, kukira. Hatinya menyimpan sejuta misteri yang jarang dia utarakan.

Sampai di ruang rias, ia sempat menatapku, sebelum kami berganti pakaian adat Minang. Seketika itu pula aku memeluknya. Penata rias bingung melihatku. Aku tak peduli.

"Terima kasih ini bukan mimpi. Terima kasih telah menjadi kenyataanku, Kak Raihan." Bisikku di telinganya.


#RumbelMenulisIIP #Week2 #Fiksi #Mimpi

Thursday, August 10, 2017

Teman Hidup (1)

Menikah? Dengannya? Benarkah? Mengapa aku merasakan sesuatu yang salah. Aku tak mengerti perasaan ini, tapi aku merasa amat sangat terpuruk mengetahui diriku sudah menikah dengannya. Ini sebenarnya perasaan apa, mengapa aku merasa sangat berdosa dan sedih dengan kondisi saat ini...

"Jadi, kenapa mbak Vey mau sama Mas Tara?" Goda Resya, ocehannya membangunkan lamunanku.

"Semua sudah takdirnya.." jawabku tersenyum kecut.

Seketika perasaan yang luar biasa sakit sekaligus sedih menyergapku. Bertambah perih ketika aku sadar aku tidak akan pernah bisa mengungkapkannya.

Suasana lampu yang temaram menemani makan malam kami berempat di kafe dekat kantorku. Resya, Tara dan Noval --suami Resya, asyik berbincang-bincang dan aku tidak menyimaknya. Tatapanku kosong.

Aku masih tak mengerti dengan keadaan ini.

Seketika tanpa sadar tubuhku berdiri, menarik Tara dari bangkunya. Mengajaknya ke atas kafe, tempat rooftop dining berada.

Aku berhenti, dia pun mengikuti. Aku memandangnya dalam-dalam. Perasaan sakitku makin menjadi-jadi.

Lelaki ini, pernah menjadi bagian yang penting dalam hidupku. Kami nyaris saja menikah, tetapi kemudian dia entah kemana. Setelah meminta aku menikahinya, ia tak kunjung datang menemui orang tuaku. Setelah itu aku tahu ia menebarkan pesonanya ke teman-teman dekatku.

Sungguh menjijikkan.

Perkenalan itu begitu cepat, namun meninggalkan kesan yang mendalam. Sebelum aku menyuruhnya menemui orang tuaku, dia begitu agresif sampai aku lupa bahwa ia telah melewati batas.

Pesan-pesannya yang cerdas dan humoris begitu menyenangkan, melenakan hubunganku dengan Tuhan. Tetap saja, dia pernah menjadi orang yang aku harapkan menjadi Imam, pegangan hidup dalam segala bahagia dan muram.

Hingga akhirnya aku tersadar dan hanya bisa bersimpuh kepada Tuhan. Aku jatuh sedalam-dalamnya dan menyesal. Aku salah berharap kepada selain Tuhan juga melanggar peraturan. Aku bahkan jijik ketika teringat kenangan yang pernah ada.

Lekat-lekat aku menatap Tara kembali. Ia pun menatapku. Diam, namun tersenyum. Terlihat bahagia.

Tidak mungkin! Pekikku dalam hati.

Dalam kekacauan hati dan pikiran aku pun terbangun. Jam di gadgetku menunjukkan pukul setengah 5 pagi, suasana kamar gelap dan dingin. Aku hanya sendiri, ditemani gaun pengantin putih yang tergantung di sudut kamar. Tanpa sadar air mataku mengalir deras, kemudian aku bersyukur.

Pic Source: Kartun Muslimah


#rumbelmenulisIIPBogor #Mimpi

Saturday, August 5, 2017

Saya dan Hobi (2)

I really loves Books.


Sesuai dengan gaya belajar saya yang visual, maka saya amat sangat menikmati waktu-waktu saya saat membaca buku.

Buku paling tebal yang pernah saya baca mungkin adalah Harry Potter the series, selain buku-buku pelajaran ataupun Alquran pastinya.

Membaca adalah proses doktrinasi, maka saat ini saya amat sangat pemilih dalam hal membaca buku. Buku-buku yang jauh dari syariat agama, insyaAllah tidak akan saya rekomendasikan kepada anak-anak saya, kelak. Termasuk buku favorit saya, Harry Potter.

Saya berharap akan banyak buku bagus yang bisa dibaca oleh generasi anak-anak saya kelak tanpa mengandung syirik, khurofat, takhayul ataupun bernuansa remaja akhir zaman yang didominasi dengan pacaran serta perilaku negatif lainnya.

Dengan membaca buku-buku bergizi yang sesuai fitrah manusia, saya tentunya berharap generasi-generasi di bawah saya kelak akan jauh lebih baik daripada orang tuanya.


#RumbelMenulisIIPBogor
#TantanganMenulis
#SayadanHobi #week1

Wednesday, August 2, 2017

Tentang Menikah (1)


Bayang-bayang indahnya kebersamaan dalam sebuah mahligai rumah tangga insyaAllah sering muncul di hati para singlewan/singlewati.

Hal ini, wajar saja terjadi karena manusia secara naluriah memang ingin hidup berdampingan, butuh teman, perlu berkembang biak dan sebagainya, dan sebagainya.

Saat ini, kita (saya kali, ya maksudnya) seringkali melihat atau mendengar seruan kepada pemuda/i untuk segera menikah. Tanpa mengurangi rasa hormat atas niat baik tersebut, penting bagi saya untuk mengungkapkan hal ini.

Saya wondering bagaimana ketahanan diri dan upaya merek menuju ke jenjang pernikahan setelah dikompor-kompori dengan berbagai macam sindiran baik langsung maupun tidak langsung, dipertanyakan statusnya dengan baik-baik maupun dengan tidak baik.

Apakah para pemuda yang 'ditantang' untuk segera menikah ini sudah siap, baik lahir maupun bathinnya?

Apakah para pemuda-pemudi ini sudah sedikit banyak faham tentang ilmunya?

Apakah pemuda-pemudi ini sudah paling tidak, mengerti dengan baik dan benar bab tentang thoharoh/kesucian?

Apakah pemuda-pemudi ini sudah betul-betul siap diamanahi sesuatu yang luar biasa besar dengan berbagai suka dukanya?

Apakah mereka benar-benar sadar dan ikhlas dan sabar saat menentukan pilihan untuk menikah?

Ataukah itu hanya rasa terburu-buru akibat pressure lingkungan yang bahkan tidak memfasilitasi ilmunya?

Ataukah itu hanya rasa penasaran dari gembar gembor overclaim sebuah citra pernikahan yang tak peduli bagaimana perjalanan penuh kerikilnya?

Ataukah itu hanya syahwat yang membara dan tak tertahankan?

Ataukah itu hanya sebagai pembuktian naik level ke status berikutnya?

Kenapa sih, saya berpikir sampai sejauh ini? Karena jaman saya muda, saya pun juga merasakan minimnya fasilitas ilmu ke arah sana. Saya USAHA SENDIRI belajar, mencari dan mendekati majlis-majlis ilmu ataupun buku-buku yang berhubungan dengannya.

Ilmunya nggak ujug-ujug ada. Nggak tiba-tiba datang sendiri. Ada waktu, tenaga, usaha, uang yang perlu dikeluarkan untuk berikhtiar mengkaji sebelum beramal.

Kenapa waktu jaman nabi banyak yang nikah muda? Karena can you imagine, mereka abis baligh aja udah maju ke medan perang. Udah jadi pemimpin perang. Mereka mencapai usia baligh dibarengi dengan kematangan psikis dan cara berpikirnya. Mereka baligh di usia, katakan 12-15 tahun, bersamaan dengan kemampuan berpikir, memilih, dan mengambil keputusan yang baik. Pendidikannya jauh berbeda dengan pemuda-pemudi saat ini yang nilai oriented. Mata pelajaran/sks oriented. Sementara ilmu agama dikesampingkan, orang tua pun ikut mensukseskan program prestasi dunia lebih penting ketimbang bekal hidup untuk akhirot.

Pembelajaran tentang agama nggak sebanding dengan usia yang semakin menua. Kebanyakkan dati mereka belum siap berumah tangga karena jiwanya tidak dipersiapkan untuk itu (tugas orang tua). Pun tidak berusaha juga untuk mempersiapkan hal itu (ikhtiar dari diri sendiri).

Hal ini tentu membuat saya, dan beberapa teman sedih. Saya prefer mengajak orang untuk cari ilmu dulu yuk, yang banyak. Jangan tanggung-tanggung.

Masa-masa singlenya dipakai untuk hal-hal yang bermanfaat, termasuk dipakai untuk mengupgrade ilmu tentang pernikahan. Jangan nilai kuliah aja mati-matian diperjuangin, tapi nilai-nilai kehidupan berumah tangga diantepin.

Biasanya hal ini disebut dengan memantaskan diri. Apakah saya benar-benar pantas untuk diamanahi Allah sebuah pernikahan?

Nikah itu nggak sekedar happy-happy macem endingnya drama korea. Ada segudang amanah yang perlu ilmu sekecamatan. Ada suka duka yang perlu banyak keikhlasan juga kesabaran.

Deket sama Allah aja kadang-kadang, upgrade ilmunya ogah-ogahan, kedewasaan masih jauh dari usianya, eh, mau nikah? Astagfirulloh..

Saya ngeri, seriously. Bagi anak-anak pengurus yang "hubungan" dengan ayahnya baik, insyaAllah sering denger selentingan-selentingan tentang kasus cerai.

Terkadang mendengar saat orangnya datang langsung ke rumah, curhat sama bapak kita.

Beberapa tak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan ibu kita.

Terkadang ayah menasihati kita dengan berbagai petuah kehidupannya, hikmah-hikmah yang bisa ia bagikan dari berbagai kasus perceraian anak-anak muda saat ini.

Masalah cerai yang perlu kalian ketahui sebagai hikmah kita bersama itu seringkali cuma masalah sepele.

- Istrinya nggak mau buatin suaminya kopi
- Nggak cocok sama design rumah
- Beda pendapat
- Berantem-berantem kecil yang lama-lama menggunung karena penyelesaiannya nggak pernah tuntas
- Gagal move on dari mantan (terus, ngapain milih nikah, sik? Move on aja belom, duh. -_-)
- dan buanyak lagi.

Maksudnya saya apa sih ngejembrengin kasus-kasus itu? Supaya kita dan teman-teman kita yang belum nikah itu sadar bahwa cobaan nikah itu nggak segampang ijab kabulnya.

Supaya kita sama-sama mengerti bahwa syetan benci pernikahan dan akan terus menggoda pondasi dasar itu supaya hancur, karena Allah benci perceraian. Jadi kalau ada alasan-alasan cerai yang terlalu sepele, itu sangat mungkin terjadi. Karena syetannya yang goda juga nggak tanggung-tanggung melakukan aksinya.

Semua hal diatas membuat saya selalu merasa terpanggil untuk meng-encourage teman-teman, yuk sama-sama belajar tentang sebuah ikatan suci ini. Ikatan yang nggak bisa putus-nyambung seenak lidah kita. Mental pacaran jangan sampai dibawa ke pernikahan.

Diluar semua motivasi menggembor-gemborkan nikah muda baik ke pemudanya maupun ke orang tuanya, yuk, kita ambil peran sebagai orang yang memfasilitasi dibidang keilmuannya.

Yuk, kita teladani teman-teman kita supaya mau membaca kisah-kisah nabi dengan para istri. Begitu pula kisah-kisah sahabat lainnya. Bagaimana mereka bersikap, menghormati, menghargai, rebutan ngalah dan toleransi dengan pasangan.

Bagaimana nabi menjaga perasaan Aisyah saat ia membuat minumannya dengan garam, bukan dengan gula.

Bagaimana Ibu Khodijah menyemangati dan menenangkan Nabi, mensupport Nabi saat Nabi ketakutan bahkan sampai menggigil ketika mendapat wahyu pertama kali.

Bagaimana respon sahabat Umar saat 'diomeli' istri, dan bagimana-bagaimana yang lainnya.

Maka yuk, teman-teman kita belajar juga menjaga komitmen kita dengan Allah untuk tidak alay, tidak centil terhadap lawan jenis. Baik centil yang diniati tebar benih atau centil yang cuma iseng aja.

Yuk, teman-teman kita belajar menjaga aurot kita semata-mata karena kecintaan kita kepada Allah. Termasuk yang laki-laki juga, ya.

Yuk, ikhwan-ikhwan sholih, komitmen menjaga pandangan. Jangan gampang nge-like muka cantik orang di instagram. Belajar menjaga komitmen kepada Allah dengan menjaga mata serta kemaluannya. Menjaga mata itu termasuk dari ngeliatin foto-foto cantik seseartis di instagram atau dimanapun, yah.

Hal-hal tersebut diatas akan membentuk kita menjadi pribadi yang sadar bahwa menjaga komitmen tidak mudah, tapi HARUS. Membentuk pribadi yang kuat, taat semata-mata ikhlas karena Allah. Sabar menjalani perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Untuk para orang tua, yuk, kita juga harus sadar bahwa pembelajaran tentang pernikahan sebaiknya sejalan dengan usia balighnya. Semuanya tentu bertahap sesuai dengan tahapan usianya.

Yuk, para orang tua juga sibuk saat anaknya menjalani masa ta'aruf. Sibuk istikhoroh, sibuk hajat sebagaimana kita sibuk mencarikannya sekolah terbaik atau universitas ternama. Secara langsung ataupun tidak langsung, ini adalah langkah terakhir kita sebagai orang tua untuk membersamai anak. Tinggalkanlah memori terindah untuk anak-anak dengan membersamainya.

Bersambung..

Dengan segenap kasih sayang sesama orang beriman, catatan pengingat diri, saat ini dan nanti.
Bogor, 2817


Saya dan Hobi?

Rumah Belajar IIP Bogor ada tantangan lagi, nih. Alhamdulillah yaa, senang rasanya berkumpul dengan orang-orang yang satu hobi. Kita bisa saling menyemangati satu sama lain. Agenda-agenda tantangannya juga bikin kita semangat untuk usaha menulis lagi.

Saya lupa perkapan saya hobi menulis, tapi sejak sekolah saya suka nulis diary. Mungkin saya kurang temen curhat kali ya jadi nulis di diary. Hahahaha

Saat di Sekolah Dasar bahkan saya pernah menulis cerita-cerita horor dan mendapatkan uang. Gimana ceritanya? Awal ide aneh ini datang dari teman saya bernama Desy. Dia mengajak saya menulis cerita horor di sebuah buku tulis kosong. Lalu, setelah jadi beberapa lembar cerita buku tersebut disewakan ke teman-teman sekelas. DAN LAKU! Lol.

Tentu saja yang menyewa kebanyakan adalah anak laki-laki. Setiap ada cerita baru mereka mau menyewa lagi. Biaya sewa saat itu kalau tidak salah di kisaran 100-300rupiah. Luar biasa bukan? Sepertinya bakat entrepreneur sudah ada sejak saya masih berupa janin. Hahahaha

Perjalanan menulis saya itu efeknya lumayan besar. Saya bisa lebih tenang, bahagia dan meresapi ada hikmah apa dibalik kejadian ini dan itu. Rezeki bisa mencecap berbagai 'rasa' hikmah dan terus diasah seiring berjalannya waktu itu belum tentu bisa didapatkan oleh semua orang, maka saya amat sangat mensyukurinya. Alhamdulillah, Masyaa Allah..

Src: Pinterest

Mendapatkan hikmah lalu hanya tertanam dalam pikiran itu agak berat bagi saya. Saya akan terus berpikir, berpikir dan berpikir. Iya, saya bisa berpikir 'dalam' tentang berbagai hal, sesepele apapun. Jadi, memiliki teman brainstorming adalah suatu rezeki tak terhingga dan memiliki waktu longgar untuk menulis adalah me time yang produktif dan semoga bermanfaat untuk sekitar.

Maka menulislah, dan kau akan terkenang selamanya.

Src: Pinterest

Rabu, 2 Agustus 2017
#rumbelmenulisIIPBogor #sayadanhobi #Week1

Saturday, July 29, 2017

Sakinah yang Kita Cari

Yang dicari dalam pernikahan salah satunya adalah sakinah. Sakinah itu tenang, tenteram, damai.

Menjadi keluarga sakinah itu nggak ujug-ujug. Ada harga yang harus dibayar. Apa itu? Tentu saja ketakwaan. Ketaatannya terhadap Allah, Rasul.

Pikirkan kembali baik-baik mengapa ingin menikah. Karena proses ibadah ini akan sangat panjang. Selain butuh ilmu, ia juga membutuhkan mental.

Menyendirilah sejenak.
Komunikasikan segala kegelisahan dan kealfaan kita kepadaNya di sepertiga malam.
Singkirkan ego dan pikiran-pikiran kita tentang dunia.

Karena lewat menikah, jalan surga kita lebih mudah. Hisaban yang sebenarnya begitu banyak, Allah beri potongan kepada muslimah melalui pernikahan.
Bersyukurlah.

Menikahlah karenaNya, menikahlah sesuai dengan koridorNya. Menikahlah karena banyak harapan yang ingin kita capai untuk mendapatkan ridhoNya.

Sakinah yang kita cari insyaAllah akan hadir dalam rumah. Bertemu pasangan bawaannya sumringah. Sebal, marah, lelah sampai rumah hilang seketika, Alhamdulillah.

Tidak seperti diluar sana yang mencari-cari ketenangan pada dunia. Dikantor ruwet, sampai rumah mumet. Suami kesal istripun bengal. Lingkaran setan yang sempurna karena lupa pada TuhanNya.

Sakinah itu tak dapat kita upayakan tanpa menjadi orang islam yang kaaffah.
Sakinah itu rezeki yang mahal.
Allah berfirman, hanya muslim beriman dan taat yang dapat merasakannya.

Semoga Allah selalu mudahkan langkah hijrah kita. Semoga Allah barokahkan keinginan-keinginan baik kita.



#empoweringmuslimah ❤

Ilmu dulu, sebelum Beramal


Tentang jodoh yang sedang kau renung-renungkan semalaman. Saran saya, jangan terlalu pusing memikirkannya.

Sibuk memasang kriteria. Baik, sholih, tampan, mapan, berkepribadian. Punya rumah pribadi, apartemen, dan kolam renang.

Tentang dirimu yang kau pandang-pandangi semalaman. Kurang putih, kurang langsing, kurang tinggi.

Sibuk mempercantik diri dengan jilbab lilit sana lilit sini, beserta perintilan make up dan aksesoris yang harganya tak tanggung-tanggung jika dibelikan garam.

Sungguh, mereka itu tak seindah kelihatannya. Tak segenting yang kita kira. Karena dalam rumah tangga yang bisa 'menjaga', insyaAllah, ilmu yang diikhtiarkan pencariannya. Serta seberapa dekat kita kepadaNya.

Masalah jodoh sudah ada pasangannya. Jodoh bukan sendal yang bisa saja tertukar. Tenang saja, insyaAllah ada gilirannya.
Namun, di dalam Islam yang berat justru menjaga pernikahannya. Melewati bahtera kehidupan bersama. Menjadi istri sekaligus teman seperjuangan mencari surga.

Apa mudah? Ya, tentu tidak. Menikah ialah ibadah serta ujian terpanjang dalam kehidupan. Yang saat kita gelisah, dia bisa buat tenang, disaat kita tenang, dia bisa juga buat kita gelisah.

Ilmu agama adalah pondasi berumah tangga, pondasi awal dalam setiap amalan. Kenikmatan membersamai Allah dalam segala aktifitas kita adalah maintenance-nya.

Allah akan mudahkan jalan kita. InsyaAllah.

Kita dimudahkan bertemu dengan yang salih, lengkap dengan tata cara hidup yang benar dalam Alquran. Juga dikuatkan saat guncangan-guncangan dalam rumah tangga melanda. Ditenangkan. Diberikan sakinah, mawaddah dan rohmat. Masyaa Allah.

Jadi sebelum sibuk dengan "siapa jodoh saya", "apakah saya terlihat cantik?" Sungguh bijak jika kita memprioritaskan ilmu agama. Ilmu menghadapi bahtera rumah tangga, kelak.

Merintis kenikmatan-kenikmatan mencari ilmu beserta perasaan membuncah saat mengamalkannya. Merenungi dosa-dosa yang bertumpuk dengan derai-derai air mata dalam taubatan nasuha.

InsyaaAllah, Allah beri ilmu dan kekuatan. Allah berikan pasangan. Karena kebahagiaan yang haqiqi dalam pernikahan ialah perjalanan untuk saling surga-mensurgakan.

#empoweringmuslimah ❤

Friday, July 28, 2017

Passion atau Calling?

Menjadi Ibu Rumah Tangga itu bukan passion saya. Passion saya kerja. Iya, saya betah berlama-lama dikantor. Disuruh ngerjain 3 task saya berani kasih 5 atau 7 buat kantor. Saya pegawai yang loyal, simply karena saya suka banget kerja dan saya merasa bersyukur, saya selalu belajar disetiap tugas yang diberikan.

Tapi bener nggak ya, passion saya kerja. Bosen sama kerjaan pasti pernah, lah ya. Katanya kalo passion nggak boleh bosen? Tapi ya masa gitu amat, namanya berkecimpung di dunia itu bertahun-tahun?
Tapi saya orangnya passionate banget sih saat kerja, pun belajar (saat ini, sih. Jaman SMA kayaknya nggak hahahaha)

Katanya juga passion itu pencarian seumur hidup. Jadi kalo ditanya nulis itu passion atau nggak? Kayaknya nggak, hobi aja. Soalnya saya kalo nggak nulis ya nggak apa-apa. Jadi kenapa-kenapa karena saya kebanyakan ide. Agak ganggu banget, sih. Pengen banget gitu ngeblog berbagai macam hal tapi merasa nggak ada waktu. Dan saya berakhir baik-baik aja padahal banyak ide buat nulis. Tapi waktu jamannya kerja, pasti ada banget yang aneh kalo nggak kerja. Kalo kerjaannya dikit atau leha-leha. Eh, jangan-jangan passion saya itu di pembukuannya, bukan di kerja? Hahaha.

Nggak sih, saya terlampau cinta sama kantor lama saya. Atmosfernya, ekskulnya, mesjidnya, toiletnya, gedungnya, kubikelnya, mengeluarkan energi berpikirnya, kantinnya almost semuanya. Dan saya senang berada disana dan sibuk. Dan berguna. Dan berfaedah. Jadi saya seneng kerja kan, ya? *malah balik nanya* 😅

Untuk menjadi pro dibidangnya, orang perlu mengetahui passion yang dimiliki sedini mungkin. Buat yang belum menemukan passion, ya gali terus. Kita nggak pernah tau di depan kita nanti akan ada apa.

Tapi, nggak semua passion bisa buat bahagia, menurut saya. Karena ada 'calling'. Menjadi Ibu Rumah Tangga adalah calling. Panggilan jiwa, panggilan hidup. Hidup ini untuk apa? Untuk siapa? Mau cari apa?

Nah, misalnya passionnya travelling tapi nggak punya duit, terus gimana mau jalan-jalan? Bekerja di korporasi dan punya duit dan bisa jalan-jalan kan lebih enak, bukannya?

Atau passionnya fotografi tapi punya istri dan anak yang kalo ngandelin fee dari passion itu ya mana cukup, akhirnya bekerja sesuai ijazah S1 demi ngasih yang terbaik buat keluarga, apa salah? Ya, nggak dong. Bahagia pula kan bisa bahagiain keluarga? Calling itu semacam itu.

Letak kebahagiaan itu bukan di passion, tapi di rasa bersyukurnya.

Saya kuliah nggak sesuai yang saya minati, so far ya so good aja, tuh. Saya menikmati. Mungkin ada rasa syukur disana, ditambah ridho orang tua. Hasilnya? Luar biasa. Walaupun cuma lulusan PTS, saya bisa cum laude. Saya bisa bekerja di korporasi yang bergengsi di Jakarta. Allah paring saya nggak ngeluh dan bersyukur menjalaninya. Jadi hasilnya ya Alhamdulillah.

Coba bayangkan orang yang kuliahnya nggak sesuai dengan yang dia minati, ditambah dia jadi ngeluh mulu dengan keputusannya kok mau aja nurut sama orang tua. Ditambah lagi dia benci sama jurusannya. Sama semua hal yang berbau dengan jurusan itu, trauma. Kasian kan? Hasilnya nggak ada apa-apanya, padahal dia fight keadaan itu bertahun-tahun.

Padahal perbedaannya sereceh rasa syukur sama nggak, doang. Tapi efeknya bisa merubah takdir dan kehidupan. Masyaa Allah.


Passion dan Calling terkadang memicu pergulatan bathin. Saya berani menuntaskan perang bathin saya dengan memilih sebagai Ibu Rumah Tangga. Ini sulit, tapi demi kedamaian jiwa saya.

Menurunkan ego dan memilih untuk memberdayakan potensi saya dirumah bukan berarti karena saya tidak mempunyai pilihan pun juga karena saya tidak berprestasi di kantor. Melainkan skala prioritas keluarga adalah kewajiban, yang bagi saya, sulit untuk disub-kontrakkan untuk saat ini.

Menjadi Ibu Rumah Tangga bukan berarti berdiam diri, mengabaikan potensi, tetapi memaksimalkan kemampuan. Sama seperti di kantor, saya harus profesional. Sama seperti saat kuliah, kalo perlu saya harus cum laude lagi. Untuk apa? Untuk pahala. Untuk jariyah saya, nanti.

Tujuan hidup yang cuma satu itu memang jalan jihadnya bisa lewat mana saja dan salah satunya ialah menjadi Ibu Rumah Tangga.

Hal ini tentu saja bisa berbeda dengan teman perempuan-perempuan yang mengemban ilmu untuk kemashlatan umat seperti dokter, perawat, guru, ustadzah, bidan dan lain sebagainya. Kalau nggak ada perempuan di bidang-bidang tersebut, insyaAllah kita juga yang jadi bingung.

Jadi, temukan passionmu. Jika ia tak bisa menjadi tempat maisyah atau tempat bahagiamu, kamu hanya perlu tau untuk apa kamu hidup. Untuk apa Allah menciptakanmu, maka insyaAllah hidupmu jauh lebih tenang ketimbang orang yang hanya menjalankan passionnya tanpa mengenal arti hidupnya. Tanpa dekat dengan Tuhannya.

#empoweringmuslimah

Komunikasi Dengan Pasangan


Kita boleh jadi memiliki Frame of Reference (FoR) dan Frame of Experience (FoE) yang berbeda dengan pasangan. Mungkin banyak, bahkan seringkali menimbulkan "gesekkan" dalam rumah tangga.

One of his best attitude, All praises to Allah, Alhamdulillah. Alhamdulillaah. Saya sangat bersyukur pasangan saya 'mostly' bisa menerima dan mencoba memahami pandangan dan pengalaman yang berbeda dari saya.

Why 'mostly'? karena memang nggak selalu~

Pasti ada gesekkan dalam rumah tangga, insyaAllah. Pendapat kita nggak melulu sama tentang segala hal. Apalagi punya istri yang kritis, tumbuh dalam keluarga demokratis dan sok tau macam saya hahahaha. Sabar-sabar ya pak suami, luv! ❤

Pun begitu saya mencoba memahami frame of references-nya dan frame of experience-nya sebagai anak bungsu yang hidupnya, bisa dikatakan selalu dimudahkan oleh Allah.

Kita dilahirkaan oleh ayah ibu yang berbeda, tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang berbeda, belajar pada kelas yang berbeda, mengalami hal-hal yang berbeda.

Tetapi tentu ada yang perlu saya garisbawahi mengenai pentingnya menikahi dengan seseorang yang pemahaman agamanya baik.

Dengan BERSAMA-SAMA mengusahakan pemahaman Islam yang baik, maka segala sesuatunya insyaAllah lebih mudah. Hanya perlu menyesuaikan dengan Alquran dan Alhadits.

Landasannya jelas dan tak terbantahkan sehingga hal ini sangat meminimalisir komunikasi tidak produktif (bermasalah), yang seringkali merupakan awal dari tidak rukunnya berumah tangga.

Bersama-sama berjuang. Tentu saja karena ini adalah ikhtiar yang panjang dari kedua belah pihak.



Pemahaman agama yang baik, dilengkapi dengan kemampuan berkomunikasi, sadar juga dewasa dalam memberikan/menerima pendapat orang lain, (khususnya pasangan) serta tidak MEMAKSAKAN pendapat, akan berdampak pada perjalanan hidup berumah tangga yang terasa jauh lebih mudah dan menyenangkan. Insya Allah.

Sejak awal menikah, dengan modal bawaan komunikasi seadanya-semampunya, kami bersyukur #KomunikasiProduktif yang kami jalani, meskipun belum sempurna, namun terasa semakin baik kualitasnya. Alhamdulillaaah.

Sehingga jujur dalam berumah tangga saat ini, tantangan-tantangan serta perbedaan-perbedaan yang kami hadapi, seringkali terselesaikan dengan baik dan (semoga) tak pernah ada perasaan yang 'mengganjal' diantara kita. Alhamdulillaaah. Segala puji bagi Allah yang memberikan kemudahan-kemudahan dalam berumah tangga. Semoga akan selalu dan selalu diberikan kemudahan, kebarokahan serta hidayah dan lindunganNya. Aamiin :')

#kuliahBundaSayang #kuliahbunsayiip #level1 #komunikasiproduktifdenganpasangan #tantangan10hari #harike9


Sunday, May 28, 2017

Melihat Kembali Nicehomework 9

Pada NHW 9 saya ingin membuat grup Whatsapp yang produktif dan edukatif
Status sosial venture ini sudah berjalan. Dan akan terus saya kembangkan. Mungkin kelak akan saya tambah dengan kuliah whatsapp para profesional atau diadakan pertemuan untuk sharing/diskusi sesama grup sehingga ilmu yang disampaikan lebih 'shahih' dan menancap di hati.



Saya juga ingin menulis serta memproduksi Buku Cerita Anak dengan harga terjangkau.



Status sosial venture ini masih berupa gagasan dan belum berjalan. Saya juga ingin memberikan solusi/perubahan lewat tulisan-tulisan. Namun, saat ini saya sedang ada projek bersama teman-teman untuk menerbitkan sebuah buku edukasi tentang ASI. Sepertinya, buku ini yang terlebih dahulu terbit dibanding buku cerita anak-anak. Lebih tinggi dari bayangan saya, saya malah sudah memulai untuk mengedukasi orang lain melewati sebuah buku non fiksi yang diterbitkan secepat ini.

Alhamdulillah. Alhamdulillahi robbil 'alamiin..

Monday, April 10, 2017

Single or Double? Yang Penting Berprinsip~


Setiap manusia yang bernyawa insyaAllah selalu ada ujian ataupun musibah dalam hidupnya. Eh, kalo manusia yang udah nggak bernyawa mah namanya mayat ya, bukan manusia. 




Nah, jadi kalau mau hidupnya "baik-baik" saja tanpa ujian dan musibah ya berarti kudu jadi mayat dulu. Etapi sebenernya udah jadi mayat juga masih ditanya-tanya yah sama malaikat, belom kelar juga dong berarti itu si ujian? 

*nadya anaknya plinplan*
*abaikan*

Jadi, kalau kita ngeliat sesembak atau sesebabang yang sudah menikah kok hidupnya hepi terus, feed sosmednya keliatan lifegoals banget, bukan berarti hidupnya tanpa ujian, ya. Jomblo aja banyak ujiannya, *ahem* apalagi menikah? Kenapa menikah lebih banyak ujiannya? Karena dengan menikah juga lebih banyak pahalanya. Dengan menikah, hampir semua pengamalan dikalilipatkan oleh Allah, pahalanya. Nah, menurut kamyu aja nih, kalo pahalanya banyak, yakali jalannya mudah dan lempeng?
Nggak mungkiin.
Karena hadiahnya bukan gelas cantik, tapi syurga.



Trus yah, kenapa sih kita kalo taking picture hampir selalu berkali-kali (lu aja, nad) sampe nemu angel terbaik dan dipajang deh tuh hasil gambar yang paling baik menurut kita.
Banyak ya, alasannya.
Salah satunya ya, nggak pengin aja yang liat feeds kita jadi sakit mata. Syukur-syukur bisa menginspirasi dan jadi jariyah.

Nah, begitupun dengan konsep berumah tangga dalam Islam, suami istri itu saling menjaga, saling melengkapi, saling menutupi aib pasangan, karena suami istri adalah pakaian bagi satu sama lain.

Pasangan ada kekurangan? 
Ya, jangan diumbar. 
Punya masalah? 
Apalagi. 
Kecuali mentok nggak ada jalan keluar, sekiranya bisa dikonsultasikan ke pihak yang 'berwenang', itu jauh lebih baik.

Alhamdulillahnya saya juga bukan tipe yang suka nyindir-nyindir suami lewat status yang aku share dari sesembak psikolog, atau sesesiapapun lah. Kalau ada artikel yang kebetulan "pas" sama kejadian hidup, biasanya aku copast kirim ke watsap/email suami (jika sedang rajin). Jika sedang tidak rajin, minimal aku mensyen paksu di statusnya seseibu atau sesembak tersebut. Jadi, mudah-mudahan si, circle-ku nggak "ngeh" kalau kita sedang ada apa-apa. Ehee.
Ehya, ini syarat dan ketentuan berlaku, yah. Karena nggak semua suami bisa terima "dibeginiin" istrinya, jadi balik lagi sesuaikan dengan sikon masying-masying.

Lalu, biasanya juga buibu ni doyan curhat, ya (ups 🙈). Nah, kalau sudah menikah ini kudu hati-hati banget. Jangan sampai jadi pasangan yang suka umbar-umbar kekurangan partner hidupnya. 
Biar apa coba curhat? 
Biar tenang? 
Mau tenang mah tilawati, dzikir, sujud, sabar. Kan udah dikasih tau sama Allah rumusnya....

(Ngomong mah gampang, prakteknya susah, nad..... iya, bener. Hiks) 

Yakan udah dibilangin kalo mudah mah hadiahnya payung cantik, bukan surga. Deal with it.



Lagian kasian kan, pasangannya malu, kekurangannya diketahui orang lain. Masalahnya pun belum tentu juga selesai dengan kita cerita-cerita. Paling temennya juga cuma angguk-angguk sambil bilang sabar-sabar. Paling mentok ya kasih saran, tapi ya belum tentu juga cocok sarannya, karena yang paling tau masalahnya ya kita, dan Allah. Ujung-ujungnya kita juga yang malu karena akhirnya baikkan sama pasangan, dan ada pihak luar yang tau "aib" keluarga kita.
Curhatnya jadi sia-sia.





“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhari Muslim)


Jadi pertama kali yang perlu kita lakukan sebelum bertemu masalah (kembali), adalah mencari sebuah prinsip hidup supaya ketika kita dihadapkan oleh sebuah masalah, kita siap menghadapi dan menyelesaikannya.

Kenapa sih prinsip-prinsip hidup ini menjadi penting? Soalnya kalo kita nggak punya prinsip, hidup kita jadi seperti terombang-ambing di lautan geloraa~~ 

*kemudian nyanyik*
*salah gaul*

Hidup kita jadi plinplan, bingung, galau, resah, gelisah, kemudian laper. Dan jarum timbangan makin geser ke kanan *ini mah gue* 🙈

Maka temukanlah prinsip-prinsip hidup tersebut dalam Alquran dan Alhadits. Karena, sudahlah pasti benar bahwa Islam adalah solusi hidup untuk siapapun di muka bumi ini. Apalagi kita yang muslim/muslimah, jungkir balik solat, ngaji, ibadah, jangan sampai lupa bahwa solusinya ada semua disini (Islam).

Nggak mau nikah beda kasta, yang satu turunan darah biru, pasangannya darah ungu (emang ada?).
Nnggak mau nikah beda lidah, yang satu doyan pedes, satunya doyan pedes banget pake micin dikit.
Nggak mau nikah beda suku, yang satu dari sunda, pasangannya jawa.

Terus, kenapa? 
Hey, terus kenapaa?
Biar kata Hayam Wuruk nggak jadi nikah sama Dyah Pitaloka konon akibat perang yang tidak berimbang karena sebuah kesalahpahaman diantara mereka dan pasukannya yang kemudian sampai saat ini menjadi alasan segelintir masyarakat untuk melakukan "perang dingin" diantara kedua suku, kalau prinsipnya berkiblat pada Islam, maka hal itu menjadi mudah. Tak perlu lah ada dendam diantara kita, apalagi kita nggak tau persis kejadiannya seperti apa. 

Sudah berumah tangga, prinsipnya ya jalan terus sesuai Alquran dan Sunnah. InsyaAlloh, Allah mudahkan kesempitan-kesempitan yang dirasa. Allah berikan ilham-ilham yang baik diluar logika kita.

Begitu pula yang masih single, sendiri itu bukan karena nggak laku, nggak ada yang ngajakkin maksiat, tapi karena sadar betul bahwa sebagai hamba Allah, harus menjaga diri dan hawa nafsu agar masuk surga, selamat dari neraka. 
Ini prinsip. 
Pegang yang teguh, jangan gampang belok. 

Kudu setrong, shay.



Allah sudah berbaik hati mengirimkan surat cinta kepada hamba-hambaNya lewat utusanNya. Yang kalau dibaca menghasilkan pahala, yang jika dihapalkan kelak ia akan menjadi syafaat di hari kiamat.

Allah juga berbaik hati memberikan solusi diatas semua solusi dalam urusan kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi melewati Alquran dan perilaku keseharian Nabi Muhammad SAW.
Terus mau apalagi? Kamu kok ya dikasih kunci jawaban kehidupan sak pol-pol ne, yo ora diwoco? Arepe opo, toh?

Ayok berubah, sebelum dirimu punah! 
Bismillah.
Mudah-mudahan Allah paring istiqomah, yah! 

Nadya, 
Wif ❤

----
*notetoself

Sunday, April 9, 2017

Pernikahan yang Bahagia


Pernikahan yang bahagia itu bukan pernikahan yang tanpa masalah. Tapi pernikahan yang saling mengerti bahwa ketika ada masalah maka "kita" harus mencari jalan keluarnya bersama-sama. Kenapa "kita" nya di bold? Karena menikah itu ya berdua, menyatukan dua orang yang berbeda untuk mendapatkan ridhoNya. Jadi, berjuangnya ya berdua dong, ya. Kalo sendirian kan jomblo namanya. Eh. 😜


Jangan baper, becanda yaaw



Nah, Alhamdulillah, kabar baiknya ialah dalam Islam selalu ada jalan keluarnya.
Serius?

SERIUS.


Karena menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya adalah KOENTJI. 





Make it simple, mau bahagia? Taat Allah Rasul. As simple as that. Like really? Iya. Beneran. Beneran bangeet. Pengalaman hidup pribadi dan orang lain mengajarkan saya tentang hal ini. Kamu juga, kan?

Misalnyapun ada berbagai macam teori tentang pernikahan, percayalah bahwa pondasi utamanya tetap ada di kecintaan kepada Tuhannya lebih dulu, kemudian ilmu lalu amal untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuanNya.

Karena dibilang kudu komunikasi blablabla kalo hobinya maksiat ya tetep aja komunikasinya nggak efektif. Why? Soalnya dia nggak komitmen sama Allah. Waktu ijab kabul, dia lupa atau nggak ngerti maksudnya pernikahan itu apa. Menikah itu gampang, menjaganya yang susah.

Karena pelanggaran-pelanggaran dan maksiat yang dikerjakan itu nggak akan pernah membawa kebahagiaan bagi pelakunya. Ketika Allah masih memberikan waktu dan kesempatan, maka orang tersebut akan bertaubat sambil menyesal telah melakukan perbuatan-perbuatan maksiat tersebut. Mungkin sampai akhir hayatnya dia 'dibebani' rasa bersalah yang amat sangat sehingga, menjadi cambuk untuknya supaya bisa beramal sholih lebih lebih dan lebih banyak lagi. 

Namun, jika Allah tidak lagi peduli dengannya, pelaku tetap merasa tenang-tenang saja hingga kebahagiaan yang fana tersebut pada akhirnya akan hilang dan berganti. Mereka tidak pernah kekal, bahkan mudah sekali pergi. Mudah sekali, secepat anak 2 tahun yang udah bisa ini itu padahal kok kayaknya baru kemarin lahiran.

*tapi boong*
*dua tahun berasa kali, ah*



Rumus yang udah absolut ini masih selalu ada aja yang nyeletuk,

"Ah, nggak juga tuh. Si A kerjanya maksiat mulu, rejeki lancar aja. Anak-anak berprestasi, istrinya cantik dlsb"

We never know what someone is going through yekan, boebo?
Lagian orang mah pengennya kamu-kamu itu taunya ya baik-baiknya aja, yegak?



"Itu si B ahli ibadah, anak-anaknya tahfidz quran kok rumah tangganya berantakan?"

Kita juga nggak pernah tahu hati orang lain, atau jangan-jangan perceraian lah jalan terbaik untuk si B, sehingga bisa mendapat istri yang sholihah nan taat.

Saya pribadi sih percaya kualitas kebahagiaan hidup seseorang ditentukan dari seberapa dekat dia dengan TuhanNya, seberapa taat dia dan seberapa kuat dia berjuang meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan. Ketika saya lagi turun keimanan, ya ada aja (banyaque) perasaan-perasaan negatif muncul. Mau me time ke salon kek, buang-buang uang makan di tempat yang bukan kelasnya saya (nggayae rek, kek punya duit saja kau nak 😂), berenang, tidur, traveling, apapun, ujung-ujungnya saya baru bisa tenang kalo udah tsurhat ke Yang Maha Memberi Ujian dan Rasa. Jadi dahulu kala, saya nggak pernah sedih kalo nggak ada bahu, lantai mesjid banyak cin, sujud ateuh. Dijamin kepala adem, hati pun. Masyaa Alloh, Alhamdulillah.

Karena percayalah kebahagiaan yang HQQ itu cuma bisa didapet kalo kita deket sama yang Empunya bahagia. 



Pernikahan bahagia juga bukan karena keduanya saling mencintai (saja), namun karena keduanya lebih mencintai Allah yang kemudian Allah turunkan benih-benih cinta diantara keduanya. Sehingga Allah tambah mencintai hamba-Nya yang saling cinta-mencintai karenaNya. InsyaaAlloh. 

Bingung nggak? 
Gausah bingung, istikhoroh sama hajat aja yang banyak. InsyaAlloh tahun ini, yaa? Aamiiin 😘

Nadya, With Love ❤

--------

*sebagai pengingat diri sendiri
**doa terakhir khusus pejuang single yang sedang mencari pasangan halalnya.

Tuesday, April 4, 2017

Aliran Rasa kelas Matrikulasi IIP


Institut Ibu Profesional.

Membaca sebuah nama komunitas ibu-ibu itu terpampang di timeline media sosial saya saja sudah membuat saya bergidik. 

Ibu? 
Profesional? 
Benarkah ada seorang Ibu yang Profesional? 
Tidak mungkin. 
Pasti mereka pernah melakukan kesalahan. Kenapa pasti? Karena simply, kullu bani Adam khoto'un, setiap anak turun Adam pasti melakukan kesalahan.

Lalu apa yang dimaksud Ibu Profesional? Bagaimana mungkin seorang Ibu bisa profesional? Seperti apa yang dipelajari Ibu-ibu itu hingga bisa menjadi profesional? 

Betul, dengan membaca nama komunitasnya saja sudah cukup membuat saya penasaran dengan siapa pendirinya, apa agendanya dan seluk beluk di dalamnya.

Hingga sampailah saya pada kesempatan mengenal lebih jauh tentang IIP melalui kelas Matrikulasinya. 

Excited? Tentuu. 
Bercampur dengan rasa khawatir dan takut akan semua kekurangan-kekurangan saya sebagai seorang ibu dan istri.

Kelas Matrikulasi kembali membawa saya berada di titik 0 hidup saya. Mengingatkan kembali tentang kodrat dan fungsi yang sebenar-benarnya sebagai perempuan. Bukan, kodratnya bukan hanya sebagai tempat dilahirkannya keturunan saja, melainkan juga sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mengapa ini penting, karena tanggung jawab membawa anak kurang lebih 9 bulan dan rasa sakit melahirkan belum seberapa dibanding tanggung jawab akan adab, akhlak, aqidah, cara berpikir si anak yang merupakan titipan Allah langsung kepada sang baby sitterNya di dunia yakni orang tua, khususnya ibu. Dan rasa sakit melihat kegagalan anak tentang pemahaman dan amalannya sesuai Alquran dan Alhadits jauh lebih mengerikan dibanding peristiwa melahirkan. Fungsi wanita, bukan hanya tentang masak dan bersolek, jauh dari itu, kita sedang berproses membangun sebuah peradaban lewat tangan kita sendiri.

Dalam banyak sisi kehidupan, tentu kita seringkali mendapat nasihat, petuah, petunjuk yang terbaik untuk menjadi seorang hamba, anak, istri maupun ibu. Maka, bersama kelas matrikulasi IIP, kita dimantapkan kembali tentang ilmu-ilmu yang sudah kita peroleh. Disadarkan tentang mengolah informasi, fokus, ikhlas, mengenal dan bisa mengukur potensi diri serta didukung untuk mencapai mimpinya yang bermanfaat untuk banyak orang. Merekonstruksi cara berpikir agar mudah dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Menambah jam terbang supaya ahli dibidangnya, yakni menjadi seorang istri dan ibu. Serta kita dirangkul untuk membersamai teman-teman yang lain sebagai Ibu yang akan membangun sebuah peradaban yang lebih baik. 

Luar biasa. Alhamdulillah. Alhamdulillahi robbil 'alamiin.

Kita akan menemukan teman-teman dengan satu tujuan. Perkumpulan sehat yang memiliki support system dan pondasi yang baik. Dan yang paling penting, berjuang bersama-sama berharap akan ridhoNya. Masyaa Allah.

Saat kita tahu dan sadar apa misi spesifik hidup kita, kita menjadi lebih tangguh, lebih efektif dan mantap saat melangkah. Tidak mudah diombang-ambingkan tren atau informasi yang terlalu banyak hilir mudik di kehidupan. Niat kita menjadi tegak, lurus, lillahi ta'ala. Lebih kuat dari yang sebelumnya, insyaAlloh. 

Menjadi seorang Ibu adalah menjadi pembelajar sejati. Ibu yang tangguh adalah ibu yang memiliki kecerdasan adversity. Kecerdasan untuk selalu berikhtiar dalam mengatasi kesulitan hidup, ketahanan dalam menjalani masalah dan mencari solusinya dengan tenang dan sabar.

Menjadi seorang manusia berarti siap untuk berjihad, siap bermanfaat untuk banyak orang. Karena tentu saja, kita butuh benih yang ditanam untuk kemudian bisa dipanen. Kita yang butuh untuk menjadi bermanfaat, walaupun orang lain tidak merasakannya. Kita yang butuh berdakwah, bukan agama yang butuh kita. Menjalani misi kehidupan yang tidak bertentangan dengan mimpi pribadi. Menginspirasi dan berbahagia atas pencapaian dan kebermanfaatannya sebagai manusia dengan mukhlis lillahi ta'ala.

Kelas matrikulasi ini menyajikan materi, tugas, tenggat waktu, pembahasan serta tanya jawab yang dipandu oleh teman-teman seperjuangan yang memulai lebih dulu dengan segudang ilmu yang mereka dapatkan dari ibu Septi dan tim-nya. Dibimbing untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.

Menjadi Ibu profesional bukan berarti menjadi ibu yang tidak pernah salah. Melainkan, menjadi ibu yang mau terus belajar dan berproses untuk memantaskan diri menapaki universitas kehidupan dengan kecerdasan adversity yang baik, ilmu yang mumpuni, mimpi yang direalisasikan serta kerendahan hati dan niat yang tulus demi mendapatkan apresiasi dari Allah semata.

Dalam prosesnya tentu tidak mudah, selalu ada khilaf dan salah bahkan mungkin berdarah-darah. Tapi jangan sampai semua itu menjadi alasan untuk menyerah. Kita tidak boleh kalah!

Salam Ibu Profesional.



**
Terimakasih tak terhingga untuk Ibu Septi, Pak Dodik dan para fasilitator IIP kelas matrikulasi. Kalian luar biasa, mudah-mudahan Allah selalu beri hidayahNya kepada kita.

Alhamdulillahi jazaa kumullohu khoiroo untuk suami tercinta dan anak laki-laki tersayang amih atas support dan kerjasamanya. Kita bisa! ❤