Friday, February 16, 2018

(My) Lovely Teacher


Bu Lani menjelaskan pelajaran logika matematika. Aku berusaha fokus memperhatikannya tapi otakku saat ini tak dapat diajak kerjasama. Tiba-tiba pikiranku melayang menuju Raihan tanpa rencana dan aku sulit menghentikannya.

Aku mencatat semua yang Bu Lani jelaskan. Setelah selesai menerangkan Bu Lani memberikan kami latihan soal. Aku mencoba memahami catatanku. Sepertinya aku mengerti, pikirku.

“Yak, latihan soal dikumpulkan.” Seru Bu Lani. Jam pelajaran Bu Lani telah habis, aku menyerahkan buku latihan soalku kepada Bu Lani. Pikiranku mulai menerawang kembali.

“Bu, saya mau tanya, boleh?”

“Tentu saja, Van. Ada yang kurang jelas atas penjelasan ibu tadi?” Dengan ramah Bu Lani menyambut pertanyaanku.

“Ngg.. tidak, jelas semua, Bu. Alhamdulillah. Di kelas sepuluh, ada yang lebih pintar dari Raihan?” Tanyaku tanpa basa-basi. Tersadar dengan pertanyaanku yang aneh, aku jadi bingung dan salah tingkah diperhatikan Bu Lani.

Matanya membulat terlihat keheranan, tetapi dia menjawab dengan ramah, “ada, tentu saja. Ada apa memangnya?” Matanya mengerling, ia menggodaku.

“Ah, nggak Bu. Saya penasaran saja, soalnya Ibu kayaknya sering sekali sebut nama Raihan…” jawabku ragu dan kikuk.

“Masak, sih? Kamu penasaran sama Ibu atau penasaran sama Raihannya? Hayoo?” Lagi-lagi Bu Lani meledekku. Aku tahu ia tidak berkompromi dengan aturan-aturan agama, tetapi masalah humor dan pengertiannya sebagai seorang manusia yang pernah melewati masa muda, tentu dia mengerti sinyal-sinyal yang terpancar dari dalam perilaku anehku saat ini.

“Serius, Buuu… Saya penasaran kenapa Ibu terlihat excited kalau cerita tentang Raihan. Saya bahkan nggak pernah tahu orangnya yang mana.” Jawabku jujur, aku benar-benar penasaran mengapa seorang guru yang kukagumi di depanku, begitu tertarik dengan seorang siswa pintar bernama Raihan tersebut.

“Hahaha, baiklah, Ibu beri tahu. Raihan nggak hanya pintar, Van. Dia lebih dari itu, bagi saya sih, ya. Tapi biasanya penilaian saya jarang salah. Hahaha.”

“Oh, ya? Lebih bagaimana, Bu?”

“Tu, kaaan… Kamu penasaran sama Raihan, bukan sama Ibu.” Ibu menanggapiku sambil terkekeh geli. “Sudah, jangan penasaran. Itu berat, nanti kamu jatuh cinta kalau kenal dia.”

“Ih, si Ibu… Ya, nggaklaah… Ibu ngeledek terus, nih.” Aku menahan senyumku karena geli mendengar pernyataan tersebut sekaligus malu.

“Hayo, ngobrolin apa? Raihan, ya?” Sambar Vina di belakangku.

“Nggak… nggak, Vin.” Seruku cepat-cepat, sebelum Bu Lani mengiyakan pertanyaan Vina.

“Lho, benar toh! Ada apa ini Vanya? Kamu jangan ngapa-ngapain, ya? Tidak boleh.” Bu Lani menasihati dengan sigap melihat ada sesuatu yang tidak sesuai prinsipnya.

“Nggak, Bu. Saya nggak ngapa-ngapain, kok.” Jawabku lemas, khawatir Bu Lani kecewa dengan pertanyaan-pertanyaan anehku hari ini.

“Bukan Vanya, Bu. Raihan yang kirim salam.” Sambar Vina lagi sambil terkekeh geli.

Bu Lani melongo, tampak keheranan.

“Vinaaaa…” Aku menariknya pergi menjauh dari Bu Lani. Menuju tempat duduk kami sambil mengerlingkan mata kepada Bu Lani.

Air muka guru matematiku itu terlihat semakin bingung.

No comments:

Post a Comment