Saturday, April 14, 2018
Cemilan Materi #9: Think Creative
Memacu Kreatifitas Anak Sejak Dini
Kita semua mendambakan anak yang kreatif, bahkan mungkin menuntut anak untuk kreatif. Berbagai cara sudah kita lakukan untuk menstimulasi anak supaya kreatif. Namun tanpa kita sadari, terkadang cara kita sendirilah yang malah menjadi penghalang kreatifitas anak.
Kebanyakan kita menganalogikan kreatif sebagai banyak ide, banyak bergerak, coba ini-itu, banyak bertanya, dll. Tapi coba kita lihat, ketika anak banyak bertanya, apa yang kita bilang?
Ketika anak banyak bergerak kesana kemari, apa yang kita bilang?
Ketika anak mencoba belajar ini itu, apa yang kita bilang?
Apakah kita banyak melarangnya, atau justru mengizinkan dan mendampinginya?
Kebanyakan mindset kita dalam memandang tingkah laku anak yang “ingin tahu” seringkali diartikan sebagai “anak pengganggu” dan menjadi penghalang bagi kita untuk menstimulasi kreatifitas anak. Akhirnya kita banyak melarang, lebih senang anak bermain dengan tenang, menstimulasi kreatifitasnya dengan memberikan banyak buku, gadget, dan hal-hal lain yang bisa dilakukan sambil duduk tenang.
Padahal, sejatinya manusia adalah makhluk pembelajar. Hal ini sudah tersirat dalam Al-Qur’an ketika Nabi Adam AS diajarkan nama-nama benda (taxonomy). Inilah potensi Fitrah Belajar dan Bernalar yang Allah berikan kepada manusia. Itulah mengapa manusia adalah pembelajar tangguh, bahkan sejak bayi. Tidak ada bayi yang memutuskan untuk merangkak seumur hidupnya. Walau belajar berjalan itu harus jatuh berkali-kali, nyatanya tidak menghalangi semangat bayi untuk terus belajar. Seiring dengan bertambahnya usia, semangat eksplorasi bayi juga semakin tinggi. Hampir seluruh bagian rumah, bahkan ke bagian tersempit dari rumah pun pernah dieksplorasi olehnya. Imajinasipun muncul ketika dia menggunakan barang apa saja yang ada di rumah sebagai mainannya, dari piring hingga pintu lemari. Tugas kita hanyalah memberi kesempatan, ruang yang aman, dan semangat belajar.
Fitrah Belajar dan Bernalar meliputi (tapi tidak terbatas pada) kreasi, penciptaan, inovasi, dan eksplorasi. Fitrah belajar ini mengalami Golden Age pada usia sekitar 7 – 12 Tahun dimana otak kanan dan otak kirinya sudah seimbang, egosentris sudah mulai bergeser ke sosiosentris sehingga mulai terbuka pada eksplorasi di dunia luar, indra sensomotorisnya sudah tumbuh sempurna, sudah bisa berpikir sebab-akibat, dan sudah mulai masuk fase pengenalan sholat di mana membutuhkan gairah belajar yang besar.
Fitrah belajar dan gairahnya untuk belajar bisa hancur karena 4 hal, yaitu:
1⃣ Orang tua atau pendidik terlalu menyetir proses belajar anak, sehingga kesempatan anak belajar sesuatu yang baru semakin kecil.
2⃣ Orang tua atau pendidik terlalu banyak memberikan materi, sehingga anak tidak sempat memaknai dan menemukan asosiasi dari setiap kejadian, daya pikirnya tidak terlatih.
3⃣ Buku teks terlalu kering (sekedar menyajikan data) dan tidak menggugah rasa ingin tahu anak.
4⃣ Dipakainya Kompetisi dan Rasa Takut sebagai pelecut belajar, sehingga anak belajar di bawah tekanan untuk tidak dimarahi atau takut dicap gagal dan bukan belajar karena rasa ingin tahunya.
Coba kita cek kembali bagaimana kita memfasilitasi kebutuhan anak untuk belajar?
Anak-anak hanya memerlukan kesempatan belajar dan keterbukaan hati orang tua bagi imajinasi kreatifnya, bagi intelectual curiousity-nya, bagi eksplorasi belajarnya, bagi kesempatan untuk semakin menjadi dirinya sendiri.
Tidak perlu ruangan atau bangunan khusus, seluruh sudut muka bumi adalah taman belajar yang indah. Alam dan budaya masyarakat Indonesia sangatlah kaya, banyak hal yang bisa menjadi tempat belajarnya. Tidak perlu waktu khusus, karena setiap kejadian yang berseliweran setiap hari bisa dimaknai sebagai pembelajaran. Tidak perlu guru formal khusus karena setiap makhluk adalah guru bagi anak-anak kita.
Salam Ibu Profesional
/Tim Fasilitator Bunda Sayang/
📚 Sumber Inspirasi :
Harry Santosa. _Fitrah Based Education_. Yayasan Cahaya Mutiara Timur. 2015.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment