Yap, Assalamualaikum gengs 🍒
Jadi berangkat dari obrolan grup watsap makemak kesayangan berfaedahku *halah, saya jadi tertamvar bahwa, wow S udah 3 taun lebih ajaaaah. Pet ngets, yes moms. Sudah mau sekolah bentar lagiii. Sudah yakin belum ya SD mana yang akan kami pilih? Eh, SD nya pake waiting list nggak? Dana pendidikan sudah siap? (Eaaa, ini masalah terpeliknya 😂) dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam dada.
(Warning: postingan panjang kali lebar 😅)
Dahulu kala jaman S masih 1 taunan (sekitar 2016 2017an lah, ya), saya udah mulai cari-cari tau, kira-kira nanti S SD nya dimana, ya? Berapa uang pangkalnya? SPP nya? Di Depok atau di Bogor aja? Sekolah alam atau sekolah umum aja? Kurikulum nasional atau internasional? dlsb.
Saya juga sudah coba hitung-hitung inflasi biaya pendidikannya untuk 6 tahun ke depan, karena kan nggak mungkin biaya sekolahnya akan sama dengan harga yang saya lihat saat itu dong, ya.
Nah, bermula dari situlah saya bisa memprediksi, oke saya dan suami butuh sekian puluh juta untuk rata-rata uang pangkal SD-SD yang menurut kami sesuai kriteria untuk S dan tentunya juga kami sebagai orang tua.
Oiya, kita (saya sih lebih tepatnya huehehe) emang nyari SD swasta, dan kayaknya kurang sreg dengan kurikulum serta budaya di SD Negeri. Saya masih mempertanyakan apakah metode pembelajarannya masih sama seperti saya dulu? Kelas dengan banyak anak, dipaksa mandiri, PR, beban materi sekolah yang cukup berat, murid fokus pada satu guru dan gurunya nggak fokus sama semua murid alias nggak student centered dlsb dlsb yang mungkin mayoritas pembaca mengalami pengalaman tersebut di masa kecilnya, dan baik-baik saja seperti saya. Hahaha
Walaupun sebenernya saya dan suami typical manusia yang nggak susah bangun pagi buat sekolah, nggak malesan, anak yang tertib peraturan, rajin mengerjakan PR endembre endembre (lalu membanggakan diri, lol), intinya bukan type anak yang nggak bergairah ke sekolah gitu lah, kami bahagia sekolah walaupun sekolahnya negeri dengan tuntutan dan beban yang cukup berat kalau dipikir-pikir saat ini, khususnya setelah saya menjadi orang tua. Iya, sekolah yang ramah anak rasanya jadi prioritas sekali saat ini.
Belum lagi, ada peraturan terbaru tentang minimal usia dan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (khususnya sekolah dasar). Saya akan mention beberapa peraturan terkait, yaa.
Dikutip dari akun instagram resmi Kemendikbud @kemdikbud.ri dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sistem zonasi dalam PPDB 2018 diantaranya:
1. Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
...
...
8. Untuk jenjang SD, sistem zonasi menjadi pertimbangan seleksi tahap kedua setelah faktor minimum usia masuk sekolah sudah terpenuhi. Sedangkan bagi SMK sama sekali tidak terikat mengikuti sistem zonasi.
Yap, kesempatan masuk SD lebih besar ketika usia anak kita lebih tua dibanding calon siswa lainnya. Setelah usia, maka filter kedua adalah zonasi.
Filter yang ada, membuat sekolah favorit seperti 'kehilangan' giginya. Kehilangan lingkungan anak-anak yang terseleksi berdasarkan prestasi.
Familiar nggak sih, temen-temen sekolah dulu rumahnya ada yang diujung timur satu lagi diujung barat banget sekolah, jauuuuuh bener.
Kok, mau ya? Ya, mau lah kan sekolah favorit!
Kok, bisa ya satu sekolah sama kita yang rumahnya cuma segelindingan doang dari sekolah? Ya, bisa lah! Kan filternya nilai UN, NEM, tes calistung, IQ dlsb.
Jadi, sekolah favorit saat ini seharusnya akan sangat-sangat "multicultural" = anak pandai, rajin, malas, kurang berakhlak, orang tua peduli, orang tua cuek, orang tua dengan ilmu parenting baik, orang tua dengan sabodo amat yang penting anak gua bisa makan, sekolah dlsb dlsb. Tidak seperti seleksi alam sebelumnya, sekolah favorit kini akan menjadi sekolah "biasa saja" dengan beragam culture dari calon siswa dan orang tuanya.
Yang padahal sebelumnya, bisa jadi (bisa jadi lho ya, ini subjektif sekali memang), sudah terseleksi dengan prestasi, which is kemungkinan besar anak-anak dan orang tua masing-masing memiliki "latar belakang" tidak terlalu jauh berbeda gap diantara mereka.
Apakah sekolah swasta terjamin baik? Ya nggak juga. Tapi meminimalisir 'resiko' tercampur baurnya lingkungan yang tidak teridentifikasikan, setidaknya bisa diikhtiarkan, bagi saya.
Apakah sekolah negeri jadi sedemikian jauh kriterianya dari sekolah ideal? Ya, balik lagi, tergantung prinsip dan keyakinan masing-masing orang tua serta kebutuhan juga ketahanan anak dalam beradaptasi pada metode pembelajaran yang disajikan.
Pasti ada kok orang tua yang bisa menolerir metode pembelajaran konvensional, dan ya kok anaknya juga baik-baik aja tuh di sekolah tersebut, malah berprestasi. Jadi, balik lagi memang, kebutuhan dan preferensinya tergantung dari individunya masing-masing. Nggak ada yang sama, karena semua orang unik, yes?
Dalam peraturan kemendikbud disebutkan, ternyata masih ada kesempatan, dikecualikan untuk siswa yang di luar zonasi, tetap dapat mendaftar sekolah impiannya dengan syarat tertentu yang terdapat pada poin 6. Cukup menarik, mari kita simak.
6. Calon siswa di luar zonasi dapat diterima melalui beberapa cara yakni:
a. Melalui jalur prestasi dengan kuota paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
b. Alasan perpindahan domisili orangtua/wali atau alasan terjadi bencana alam/sosial dengan paling banyak 5% (lima persen) dari total keseluruhan siswa yang diterima.
Untuk jalur prestasi ini, masyaa Allah, insyaAllah banyak aja nih ya saingannya? Eh, saya kurang tahu ya kalau pada SD Negeri praktiknya seperti apa. Apakah berdasarkan IQ, tes calistung serta wawancara dlsb untuk menentukan calon siswa tersebut berprestasi atau tidak. Yang jelas, masuk SD Negeri saingannya makin ketat, kalau sekolah favorit anak-anak saya bertempat di luar zonasi calon sekolah favoritnya.
Nah, balik lagi nih, tes calistung ini kan kontroversi juga di kalangan emak-emak, ya. Ada yang pro ada juga yang kontra. Ada yang anaknya udah bisa, ada yang belom bisa. Ada yang udah bisa tapi nggak mau lah pilih sekolah baru SD aja tes calistungan segala, ada yang gapapa lah kan diseleksi yang terbaik doong, biar lingkungan bagus. Macem-macem lah ya. Bebas aja, selama orang tua dan anak sama-sama mengerti mau kemana dan seperti apa nantinya di sekolah.
Jadi, cari sekolah, SD ya khususnya, karena kalau TK kan nggak terlalu lama, 2 tahun paling lama, dan TK PG mah mostly main-main berfaedah aja. Nah, kalau SD ini kan cukup lama ya buk, 6 tahun. Jadi milihnya tuh agak tricky, buat emak-emak yang banyak maunya kek saya 😂
Belum lagi di usia 6-12 tahun itu anak akan melewati berbagai puncak fitrah yang menjadi pondasi dasar karakternya menuju aqil baligh kelak, sehingga memikirkan ini jauh-jauh hari menjadi pilihan yang cukup bijak, kok gengs.
Jangan gegabah beberapa bulan sebelum tahun ajaran anak mulai sekolah, baru sibuk cari sekolah, karena yang udah booking dari sejak bayinya baru lahir pun ada, haha masyaa Allah ya buibu jaman naw ieu teh, mantul 👍 Yang mendadak, baru sibuk cari sekolah terus nggak dapet karena nggak cocok atau nggak keterima dimana-mana juga ada loh, anaknya jadi mundur lagi ke TK atau nunggu lagi setahun. Pilihan yang cukup berat, well... You choose, parents 🙃
Oiya, jangan lupa persiapkan budgetnya sedini mungkin, agar supaya nabungnya nggak berat-berat amat dan kita memiliki keleluasaan serta kesempatan untuk memilih sekolah menjadi lebih lebarrr daripada "berpura-pura" amnesia selama 7 tahun, nggak nyiapin apa-apa, tahu-tahu amanah kita (anak) udah gede aja dan bulan depan bakal jadi murid di suatu sekolah.
Oya, termasuk homeschooling! Biaya homeschool juga nggak sedikit loh, yaaa. Apalagi ilmu, komitmen juga kekuatan untuk menyelesaikannya dari A sampai Z. Superb lah buat yang bisa homskul, saya saluuute.
So, oke sampai sini, saya dan suami masih berpikir bahwa kami butuh SD Swasta untuk S. Menimbang berbagai hal serta melihat saya dan suami rasanya juga nggak sanggup kalo berkomitmen dengan metode homskul.
Disclaimer, kalo SD Negeri jaman S kelak tau-tau jadi bagus yaaa, mungkin bisa jadi kami akan pilih SDN aja karena lebih hemat yakaaaan hahaha *teteup *makemak
Untuk postingan selanjutnya, saya akan bahas beberapa yang perlu dipertimbangkan saat memilih sekolah (SD), dan kegalauan kami yang dihadapkan situasi kurang mendukung. See ya! Selamat merenung, gengs. Assalamualaikum~
No comments:
Post a Comment