Thursday, February 1, 2018

MENDIDIK ANAK CERDAS FINANSIAL SEJAK DINI (Part 1)


Assalamualaikuum, Hola. Tantangan 10 Hari, level ke 8, Kuliah Online Bunda Sayang IIP kali ini tentang mendidik anak cerdas finansial sejak dini.

Periode tugas dimulai dari 1 Februari 2018 sampai 17 Februari 2018, dengan syarat minimal kelulusan mengumpulkan 10 tugas.

Tema kali ini cukup greget, yhaaa. Secara emaknya S hobi dengan tema ini, tapi (kayaknya) belum serius mencoba mendidik S tentang masalah rizki atau perduitan ini.

Ternyata (sesuai materi yang diberikan) mendidik finansial anak sejak usia dini itu bisa dimulai dari memahamkan anak-anak bahwa uang adalah bagian kecil dari rejeki. Kemudian bisa dilanjutkan dengan pengelolaan uang, membaginya kepada yang berhak, membedakan keinginan serta kebutuhan. Yap, semuanya dimulai dari ibu yang mau belajar untuk melek finansial dan teguh dengan prinsipnya. Semoga, dimulai dari tigas ini, saya, abihnya S dan S bisa bertumbuh bersama sehingga kami dapat mengelola uang dan bertanggungjawab terhadap bagian rejeki yang didapatkan dari Allah SWT.

Tugasnya apa saja kali ini?

🎎 Bagi yang sudah menikah dan memiliki anak:

👶 Anak usia dini (<7th)

Buatlah proyek pengenalan menabung, proses menabung dan membelanjakan tabungan. Perkuat bahwa semua rejeki berasal dari Allah. Ceritakan pengalaman bunda dalam mengenalkan konsep rejeki pada si kecil melalui tulisan dan atau foto.

Nah, karena S masih 2 tahun 8 bulan (kurang lebih, ya. Saya malas menghitung 😂), sebisa mungkin saya akan sharing tentang proses serta pengenalan rejeki/menabung tersebut. Namun, jika tidak ada bahan tulisan atau bingung mau menulis apalagi tentang menabung vs anak, mungkin saya akan sharing tentang tugas lain yang diberikan kepada yang belum menikah atau belum memiliki anak.

Seperti tugas di bawah ini.

👩 Bagi yang sudah menikah belum memiliki anak serta bagi yang belum menikah:

Ceritakan pengalaman anda dalam mengelola keuangan. Catatlah proses belajar membuat pencatatan keuangan dan membaginya ke dalam kantong belanja, infaq, dan tabungan. Identifikasi catatan keuangan Anda apakah sudah baik, perlu review ulang ataupun ada bocor halus dalam pengelolaannya.

***

Hari ini sebenarnya saya dan suami sudah berniat akan membeli celengan. Namun, kami lupa karena sibuk dengan belanjaan lainnya. Sayang sekali, padahal saya berharap hari ini sudah ada progres tentang celengan.

Walau begitu, saya mau sharing tentang tabungan S yang diberikan oleh Abahnya (baca: kakek). Abah memberikan S tabungan 1000 IDR per hari, tabungan ini sudah berjalan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu. Alhamdulillah, walaupun proses mendidik belum dimulai, tetapi progres menabungnya sudah dimulai sejak S masih bayi.

Disamping itu, kami sebagai orang tua yang basic pendidikannya berkecimpung di dunia keuangan, cukup melek finansial sehingga sudah merencanakan dan membeli reksadana syariah untuk dana pendidikan S, ke depan.

Mudah-mudahan apapun ikhtiar yang kami lakukan bisa bermanfaat untuk S dan insyaAllah adik-adiknya, kelak.

#KuliahBunsayIIP
#Tantangan10Hari
#Level8
#RejekiItuPastiKemuliaanHarusDicari
#CerdasFinansial
#Day1

Saturday, December 2, 2017

Every Mom Has Their Own Battle


Sejak abang 6 bulan saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya.

Berat badannya yang mandeg di angka segitu-segitu saja, membuat saya tidak bisa menunda-nunda lagi keputusan ini.

Usut punya usut, jumlah menyusu ASI pada botol dalam satu hari kurang dari yang biasanya. Entah sang nenek yang mulai lelah harus menyusui via botol karena bayi sudah lebih aktif dan ekspresif atau proses pencairan ASI-cuci botol-strerilisasi-mandiin-nyebokin dan lain sebagainya yang tentu saja tidak bisa dikatakan mudah.

Neneknya, yang mana adalah ibu saya, pun memberikan MP-ASI sejak di usia 4 bulan tanpa sepengetahuan saya, padahal abang punya masalah pencernaan; salah satunya alergi susu sapi serta turunannya.

Saya semakin sedih bukan kepalang. Rasanya ingin marah tapi ini jelas kesalahan saya. Benar-benar salah saya.

Salah saya memberikan kepercayaan kepada orang lain yang bukan tanggung jawabnya, salah saya mau saja didukung untuk tetap bekerja, biar abang dijaga nenek di rumah. Saya menghiraukan naluri keibuan saya untuk tetap ingin menjaga, merawat, dan memberikan kasih sayang sepenuhnya setelah selesai cuti melahirkan.

Resiko paling besar menitipkan anak kepada orang lain, ya tentu saja perawatan, pendidikan dan pembentukan dirinya tidak bisa 100% seperti yang kita harapkan. Sedangkan jika pun kita yang menjaga merawatnya sendiri pun belum tentu bisa mencapai 100% harapan kita, apalagi dijaga dan dirawat orang lain.

Well, what do you expect?

Pergolakan batin ini menjadi berat karena saya sangat suka bekerja. Saya yakin setiap orang memiliki kesenangannya masing-masing, dan saya senang berhadapan dengan komputer, berpikir, serta melakukan sesuatu yang bermanfaat bahkan menghasilkan.

Karir saya pun tidak terbilang jelek. Harapan-harapan menaiki tangga managerial/profesional atau pindah ke kantor established lain yang atmosfernya lebih menyenangkan dengan banyak fasilitas, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin saya capai. Semua seperti mimpi-mimpi yang bisa saya dapatkan hanya dengan beberapa langkah lagi saja.

Saya mencintai kesibukkan saya di kantor yang rapi dan wangi, di perjalanan menuju dan pulang kantor, berinteraksi dengan banyak manusia dengan pola pikir yang luar biasa, merasa produktif, bermanfaat dan mendapatkan uang, tentu saja.

Walaupun pada saat itu saya memilih untuk resign, menghentikan perjalanan karir saya karena dilanda emosi yang tak bisa dilukiskan. Marah, sedih, kalut, kesal, kecewa terhadap diri sendiri, semua bercampur menjadi satu, namun akhirnya kejadian ini malah menjadi titik balik hidup saya.

Hidup bukan hanya untuk kesenangan semata. Hidup bukan hanya untuk egoisme saya saja. Saya telah memutuskan menikah, berarti saya harus siap di rumah, karena makhluk kecil itu terlalu berharga untuk tidak melihat ibunya 6x10jam dalam seminggu. Suami saya terlalu berharga untuk diurusi oleh si embak yang bahkan tidak diijab kabul olehnya.


Perasaan ini tentu saja timbul tenggelam. Perasaan merasa mampu menjadi sukses di ranah publik. Perasaan ingin mendapatkan penghasilan lebih dan lebih banyak lagi.

Maka, benarkah saya harus mengikuti kebahagiaan (baca: ego) saya? Atau sebenarnya saya hanya ingin keluar dari rutinitas ibu rumah tangga yang melelahkan dan jauh lebih berat tanggung jawabnya?

Jangan-jangan saya hanya ingin mencari pelarian atau tempat aman dari yang namanya tanggung jawab berumah tangga.

Lalu saya akan menemukan nasihat-nasihat atau ceramah via sosmed yang menampar-nampar saya.

Segenting apa saya harus bekerja?

Kesenangan pribadi?

Apakah saya yakin dan bisa menjaga diri dari ikhtilat dengan kaum laki-laki? Sementara kalau telat ke kantor saya akan terburu-buru masuk gerbong kereta mana saja dan bersenggolan dengan mahkluk lawan jenis, belum lagi di transportasi umum lainnya.

Beberapa teman muslimah saya dengan santainya salaman-mencolek-dicolek dengan rekan kerja yang bukan muhrim. Yang lainnya melakukan keriaan dengan berkaraoke bersama, padahal suara adalah aurat; hampir seluruh bagian wanita adalah aurat.

Bisakah saya menghindari itu?

Bisakah saya menjadi Ibu yang tidak menelantarkan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga?

Bisakah saya berpakaian sesuai syariat sehingga benar-benar terjaga lekuk-lekuk tubuh saya karena hidup saya kelak akan dipenuhi laki-laki lain?

Apakah saya tidak bersuami atau tidak ada seseorang yang mau menafkahi hidup saya, sehingga perlu mencari nafkah sendiri?

Apakah rezeki dari suami tidak cukup untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup, bukan biaya gaya hidup?

Apakah pekerjaan saya sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak ada laki-laki yang bisa menggantikan perannya?

Semua pertanyaan tersebut dengan yakin saya jawab tidak.

Lalu ketergesaan serta alasan apa yang mengharuskan saya meninggalkan rumah?


Dan perasaan-perasaan ini seringkali muncul hanya untuk menggoyahkan hati dan prinsip saya. Tidak semua yang kita senangi dan kita inginkan bisa tercapai, dan atau diizinkan oleh Allah. Saya mencoba berdamai dengan diri saya. Karena tentu, segala sesuatu yang berlandaskan wahyu, selalu lebih menenangkan.

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu ….” 
(QS. Al-Ahzab:33)

Kemudian menatap mereka berdua di malam hari menjadi suatu ketenangan bagi saya. Sekalipun saya belum sempurna, biarlah saya yang mengais-ngais pahala dari dalam rumah. Biarlah saya menahan ego ini, mudah-mudahan Allah ridho dengan menjadikan saya akar yang dapat menguatkan pondasi rumah tangga kita. Mudah-mudahan Allah memampukan serta menguatkan saya untuk bertahan dalam prinsip ini. Mudah-mudahan Allah selalu menampar-nampar saya dengan nasihat jika ada keinginan yang hanya dilandasi hawa nafsu belaka.

Sehingga suami saya bisa menjadi batang yang tangguh, padat dan menjulang tinggi.

Sehingga anak-anak saya bisa menjadi buah-buahan yang besar nan manis.

Aamiiin..




Friday, November 10, 2017

The Left Unsaid

Gadis itu menjalani hari seperti biasa. Tak pernah ada yang spesial dalam hidupnya. Pagi hari ke sekolah hingga sore. Pulang ke rumah, jarang berkumpul layaknya teman-teman sepantaran. Makan di kafe, nonton, berfoto ria dalam sebuah kotak sempit di pasar-pasar modern. Bukan apa-apa, tak punya uanglah alasannya. Uang jajan yang sangat minimalis diberikan orang tuanya, hanya mampu untuk menahan rasa laparnya di sekolah, tidak lebih.

Dia sebenarnya menyenangkan, hanya karena minder dengan keadaannya, ia lebih suka menutup diri. Berteman dengan beberapa orang yang baginya aman untuk dikawani. Ia menerima semua nasibnya, jarang sekali mengeluh atau menyesal. Ia menjalani hidupnya dengan lapang. Ia menerima prestasinya yang selalu dikisaran angka 5 sampai 10, di kelas. Ia tidak mengikuti ektrakulikuler apapun. Ia juga tidak mengikuti les tambahan persiapan menuju UAN. Namun, Allah takdirkan hasil ujiannya cukup untuk modal mencari SMA unggulan.

Seiring berjalannya waktu, gadis itu lulus dari sekolah negeri terkemuka di Depok. Takdirnya melempar dia ke kota nun jauh di timur pulau jawa, sana. Mondok. Orang tuanya berharap agamanya terjaga dari carut-marut dunia.

Sejak saat itu nasibnya berubah total. Gadis yang tak pernah dilirik dari prestasi maupun aksesoris diri ini kini menjadi idola di sekolahnya. Tak hanya pria, wanitapun menyematkan predikat cantik yang tak pernah ia dapatkan di sekolah menengah pertamanya. Sungguh ia tak mengerti standar kecantikkan pada umumnya, yang ia tahu bahwa dirinya tidak cukup buruk, namun tetap hanya butiran debu belaka jika dibandingkan teman-teman SMPnya.

Prestasinya melambung di angka empat saat semester pertama, dan menjadi yang pertama saat di semester kedua. Temannya banyak. Teman yang benar-benar teman, dan teman yang hanya mengharapkan keuntungan. Dia dipercaya menjadi ketua kamar di asrama. Dia sibuk di kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi. Dia benar-benar berubah. Sekalipun uang kiriman dalam porsi minimalisnya tak pernah berubah, namun kini ia berubah. Dia tumbuh menjadi gadis yang percaya diri. Dia menyadari dirinya berharga dan dibutuhkan.

***

Ia menjadi mahasiswa yang menyenangkan, supel dan terbuka. Semua orang bisa akrab dengannya. Namun hidup tak pernah berhenti sampai di sana. Kampus swasta yang hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi beban tersendiri untuknya. Ia menerima, bahwa setiap manusia berhak memilih pandangannya. Ia tak akan memohon sambil memperlihatkan hasil IQ atau IPKnya hanya untuk dihargai sebagai seorang manusia. Tuhan selalu punya cara dalam mengajarkan hamba-hambaNya.

Ingatannya kembali ke masa kecilnya, saat guru-guru TK sibuk mempertanyakan kalung oleh-oleh dari Mekkah sana. Mempertanyakan kendaraan mewah yang orang tuanya miliki, setelah acara gerak jalan bersama melewati depan rumahnya. Haruskah setiap manusia hanya dihargai dari covernya? Haruskah setiap manusia diapresiasi hanya dari materi dan perintilan-perintilan yang tidak pernah mereka bawa mati? Hatinya sesak. Semakin dewasa, tentu ia akan akan semakin banyak menemui manusia berkedok manusia. Pura-pura menjadi manusia, padahal bukan.

Lagi-lagi coretan takdir baik membawanya menuju sebuah perusahaan ternama. Si gadis yang dipandang sebelah mata dapat membuktikan kemampuannya. Atau lebih tepatnya, Allah mengabulkan setiap inci doa-doa orang yang teraniaya. Doanya terbang ke atas, menembus langit tanpa alang-alang.

Kini gadis tersebut telah menjadi seorang Ibu. Dengan rentang waktu dan lika-liku perjalanan hidupnya, ia banyak menemukan hikmah-hikmah kehidupan yang berserakkan. Ia bersyukur di usianya yang belia, dia sudah banyak memakan asam garam kehidupan. Berharap bisa selalu menjadi seseorang yang tawakkal dan beriman.

Adakah kebahagiaan yang lebih indah daripada rasa percaya dan cinta kepada Tuhan?