Friday, September 6, 2019

Is the Balance Bike really Worth the Hype? (Part 1)


Buat yang kemarin-kemarin liat story/status WhatsApp aku tau ya Kalo S mainan sepeda. Tapi sepeda S nggak Ada pedalnya karena memang jenis sepeda balance bike atau kick bike, alias sepeda tanpa pedal, jadi ya sepedanya bergerak dengan cara berjalan atau berlari gitu, bukan digowes.

Karena story kemarin (atau karena liat S main sepeda di depan cluster), banyak beberapa yang tanya,

"Wah, S udah bisa roda 2 ya?"

"Kok sepedanya nggak ada pedalnya?"

"Sepedanya beli dimana?"

"Kisaran harga berapa, itu?"

"Manfaatnya apa balance bike?"

Untuk pertanyaan yang terakhir, sebelum beli sih saya udah riset kecil-kecilan dulu. Tapi, begitu ditanya lagi, saya udah lupa manfaatnya apa aja hahaha. Jadi, mending sekalian dibuat aja blognya ya, biar menjawab semua pertanyaan-pertanyaan netyjen tersuyung.

Jadi apa sih sebenarnya Balance Bike itu?



Balance bike atau kick bike adalah sepeda dua roda, tanpa pedal. Saat ini, di Indonesia udah mulai banyak yang menggunakan, ada komunitasnya pula. Gemes sih kalo liat instagram komunitasnya, coba deh liat-liat. Nah, tapi kalau di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Inggris, Korea, dlsb, balance bike atau kick bike sudah lama dijadikan media belajar bersepeda usia dini.

Sebenarnya, ada banyak sebutan untuk sepeda roda dua tanpa pedal ini, ia bisa disebut; balance bike, push bike, kick bike, training bike, run bike, baby bike, trainer wheels. Berbeda merk, berbeda pula bentuk, ukuran, berat dan bahannya. Ada yang terbuat dari  kayu, alumunium, bahkan plastik.

Berapa sih usia yang tepat bagi anak untuk bisa mengendarai Balance Bike?

Jadi, balance bike ini memiliki berbagai ukuran, dan ukuran terkecilnya dapat dikendarai sejak anak berusia 18 bulan. Di negara maju, anak-anak ini memang biasanya diberikan balance bike sejak mereka baru bisa jalan dengan mantep, ajeg atau sekitar umur 18 bulan-24 bulan. Balance bike sendiri bisa digunakan hingga anak berusia sekitar 5 tahunan.

Saran saya, saat ingin membeli, pastikan untuk memilih ukuran, bahan dan bentuk balance bike yang sesuai dengan kebutuhan anak, ya. Soalnya ukuran balance bike itu ada yang cocoknya untuk tinggi anak 3 tahun hingga 5 tahun. Tapi ya ada juga balance bike yang cocok untuk usia anak mulai 2tahun.

Berbeda bahan/merk tentu berbeda juga beratnya. Menurut saya, berat balance bike ini cukup mempengaruhi manuver dan kepercayaan diri anak saat bermain sih. Karena balance bike bisa digunakan dengan baik jika telapak kaki anak sudah bisa menapak dengan sempurna saat menggunakan balance bike (nggak terlalu jinjit).

Usia 2 tahun biasanya mayoritas orang tua di Indonesia membelikan anaknya sepeda roda tiga, ya. Sayangnya, sepeda roda tiga itu nggak mengajarkan keseimbangan sama sekali loh. Jadi saat anak makin besar, stepnya kemudian anak diberikan sepeda roda empat (roda dua dengan roda kecil disampingnya). Lalu, mereka naik step lagi belajar sepeda roda dua. Jadi, ya belajar keseimbangannya baru di roda dua itu, cukup lama nggak sih? Dan sayang banget aja stimulasinya lebih sedikit menurut saya, sementara dengan balance bike, sejak usia 2 tahun dia sudah bisa distimulasi lebih optimal.

Kabar baiknya, dengan stimulasi menggunakan balance bike dimulai usia 2 tahun, idealnya saat ia 4 tahun, anak sudah siap menggunakan sepeda roda dua.

Tetapi tentu, tiap anak pasti berbeda-beda perkembangannya. Hanya saja, secara logika ketika anak sudah terbiasa dan bisa mencari keseimbangan sendiri dengan bermain balance bike, ia akan jauh lebih mudah belajar sepeda dengan pedal karena sedikit banyak, sudah tahu dan mengerti cara menyeimbangkan tubuhnya.

So, sebenarnya apa aja sih manfaat Balance Bike?

Balance bike fungsinya tentu sebagai pengganti tricycle atau training wheels (roda tambahan pada sepeda roda dua; roda empat). Dengan mengoptimalkan stimulasi keseimbangan serta koordinasi tubuh yang dipelajari dari balance bike, anak diharapkan dapat langsung beralih ke sepeda roda dua yang sebenarnya dengan lancar tanpa bantuan training wheels.

Sepengalaman saya, dengan desain balance bike yang ringan dan tanpa pedal itu membuat anak lebih cepat beradaptasi dengan sepeda tersebut. Mungkin sama seperti pengalaman ibu-ibu lainnya saat pertama kali mengenalkan anak mengendarai sepeda roda tiga, anak-anak biasanya nggak ngeh kalau kaki seharusnya ditaro di pedal lalu pedal digowes. Anak-anak cenderung menggunakan kaki mereka untuk menggerakkan sepeda. Kudu dijelasin dulu, baru deh dia ngerti.

Nah, berbeda dengan balance bike, S waktu pertama kali ya langsung bisa. Karena naturally anak akan melakukan hal yang sama seperti saat dia menaiki sepeda roda tiga. Tentu tidak langsung ngebut atau seimbang, tapi dia mengerti bahwa cara memainkannya dengan duduk terlebih dahulu, pegang stang, lalu gerakkan kaki ke tanah agar bisa maju. Naluriah sekali.

Selain itu, lagi-lagi karena desain balance bike yang ringan, ringkes, simple nyatanya sangat memudahkan anak untuk menguasai gerakan belok, memutar, zig-zag hingga menanjak dan meluncur dengan seimbang. Balance bike juga sangat ramah pada permukaan jalan atau tanah yang tidak rata, mudah digunakan di permukaan yang berbatu. Untuk tricycle manfaat ini tentu tidak dirasakan, untuk training wheels (sepeda roda empat), pendapat subjektif saya sih kurang optimal, ya. Anak terlihat mudah menggowes karena jalanannya oke/mulus. Untuk bermanuver sepertibberbelok, memutar, zigzag juga tidak "selincah" menggunakan balance bike.



Jika dilihat dari bentuknya yang sangat fleksibel dan ergonomis dibandingkan tricycle, Balance bike dapat digunakan untuk menempuh jarak yang jauh. Berbeda dengan tricycle yang sangat tidak efisien untuk dikendarai anak dengan jarak yang jauh. Biasanya juga tricycle dilengkapi dengan pegangan ya, supaya kita, orangtua bisa bantuin mendorong mereka ketika mereka capek, hal ini akhirnya membuat anak bergantung pada orangtua dalam mengendarainya. Balance bike lebih menstimulasi kemandirian anak.

Anak-anak yang mengendarai balance bike dapat melatih keseimbangan motorik kasarnya dan juga keseimbangan pada otak kanan dan otak kirinya. Hal ini terjadi karena adanya sinergi dari seluruh aspek indra anak, koordinasi total antara mata, tangan, kaki, badan maupun otak untuk mengendarai sepeda tanpa pedal tersebut. Sebuah stimulasi paket lengkap untuk motorik kasar. Wow.


Cukup menarik ya?

Ohiya, saya mau nambahin gambar anak-anak yang sedang ikut aktifitas balance bike di komunitas balabiboo (balance bike bogor)



Seru yaa, lanjut baca-baca seputar balance bike di Part 2 ini yaa 😊 

Thursday, September 27, 2018

Pertimbangkan Ini saat Memilih Sekolah Dasar untuk Anak (1)


Heyhoo~ Assalamualaikum

Karena guglang gugling nggak jelas juntrungannya itu capek sih, maka saya kepikiran bakal buat google sheet yang sekarang masih di corat coret dulu di google keep. Biar enak baca dan bandingin plus minus sekolah yang diincar.

Nah, sekarang saya mau sharing kriteria apa saja yang bisa kita pertimbangkan buat memilih sekolah anak. Khususnya sekolah dasar ya, karena anak akan menghabiskan masa anak-anaknya di sana. 6 Tahun lama ya kan, buk. Nggak kebayang kalau tiba-tiba anak bosen tengah jalan.



Yang mau menambahi, silahkan lhooo~

🌇 Tipe Sekolah

Sekolah negeri atau sekolah swasta? Sekolah umum atau sekolah alam? Sekolah agama (Islam, Kristen, Katolik) atau sekolah biasa aja yang campur semua, supaya belajar toleransi etc etc. Pilih dulu tipe sekolah yang sekiranya sreg dengan visi misi serta jaman yang kelak akan dilewati anak-anak kita.

🌇 Cek Visi Misi Sekolah

Mau nikah aja cek visi misi pasangan dulu, ya. Biar sejalan, lancar, nggak banyak berantem atau beda pendapat krusial. Apalagi ini urusannya tentang 'menitipkan' amanah kita, ya walaupun 'sebentar' dan sudah pasti sebenarnya mereka adalah tanggung jawab penuh kita sebagai orang tua, maka memilih sekolah yang sejalan dengan visi misi kita, mempermudah jalan kita dalam menjaga serta mendidik amanah yang telah diberikan olehNya, insyaAllah.

Kalau perlu, cari tahu juga owner/kepala sekolahnya, ngobrol bareng mereka. Sedikit banyak kita akan tahu segreget apa si owner/kepsek ingin memajukan pendidikan, memaksimalkan potensi siswa-siswanya dengan menyajikan pendidikan yang menyenangkan di sekolah tersebut.

🌇 Lokasi dan lingkungan Sekolah

Sekolah bagus mungkin banyak, sayangnya nggak semua sekolah dapat kita akses dengan mudah sehingga bagi saya penting untuk mempertimbangkan beberapa hal ini:
📍 Jarak
Bersyukur beberapa sekolah incaran kami berada di radius kurang dari 5 KM, dan saya rasa, saya mungkin juga masih menolerir jarak 7-8 KM jika daerah sekolah tersebut agak terpencil/ daerah jarang macet. Jarak yang tidak terlalu jauh ini akan berdampak pada kondisi anak. Anak tidak akan terlalu capek di jalan karena macet atau lain hal, tidak perlu berangkat terlalu pagi dan pulang terlalu siang, menghemat waktu juga biaya serta memudahkan kita untuk antar jemput jika dilakukan secara mandiri.
📍 Lingkungan Sekolah
Selain itu hal yang bisa dipertimbangkan tentang lingkungan sekolah, mungkin beberapa orang tua lebih nyaman jika sekolah tidak berada di kawasan yang ramai lalu lintas, di pinggir jalan raya atau di dekat lokasi pusat perbelanjaan. Juga lingkungan sekolah yang kondusif, sekolah lebih menjorok ke dalam sehingga hiruk pikuk suara di luar sekolah tidak mengganggu kegiatan atau konsentrasi belajar anak-anak.

🌇 Tes Masuk Siswa Baru

Beberapa sekolah favorit (both, swasta/negeri) ada yang mewajibkan tes masuk seperti calistung: (membaca, menulis dan berhitung) dari hal ini kita bisa menilai kemungkinan-kemungkinan cara belajar yang diberikan oleh sekolah tersebut. Mayoritas sekolah yang menggunakan keunggulan prestasi anak dalam 'angka' sebagai filter penerimaan siswa, dalam sistem pembelajaran kemungkinan besar akan memakai sistem DIRECT TEACHING. Sistem pembelajaran satu arah seperti saat kita sekolah dahulu. Guru mengajar, memberikan latihan dan PR secara konvensional.
Tes masuk dengan observasi/wawancara dari pihak sekolah. Terkadang pada praktiknya yang di interview hanya orang tua saja, beberapa sekolah lainnya menggunakan metode interview 2 arah, anak juga orang tua, mereka mengkonfirmasi kesiapan kedua belah pihak. Sekolah yang menerima murid baru melalui tes wawancara biasanya sistem pembelajaran yang akan digunakan mereka adalah ACTIVE LEARNING.

Beberapa sekolah paham betul bahwa bekerjasama dengan orang tua yang kurang peduli/cuek, tidak memiliki prinsip tertentu atau terlihat tidak siap terlibat perihal sekolah anak hanya akan membawa petaka bagi pihak sekolah.



🌇 Kurikulum/Metode Pembelajaran

Mau kurikulum yang seperti apa? Kurikulum nasional? nasional plus? Internasional seperti IB/Cambridge? Cari tahu lebih banyak tentang metode pembelajaran ini, yaa. Nasional plus itu biasanya yang plus islami, bernafaskan islam. Plus montessori, atau plus kurikulum khusus yang diramu secara mandiri oleh sekolah yang bersangkutan.

Saya pribadi condong ke nasional plus, memang. Kalo bisa sekalian sekolah yang pake kurikulum nasional plus dan internasional mah boleh banget dong, asal harganya jangan mahal-mahal amat yaaaa. Hahahaha. Pelik memang kalau sudah menyangkut biaya 😪
Selain itu preferensinya juga kalau bisa bilingual atau full english juga boleh. Kan lumayan ngirit biaya les sekalian *emakperhitungandetected 🌋

Kok, mau yang pake english segala sih? Banyak mau ngana! 😅 Ya, pengen aja. Wkwk. Adalah sesuatu yang kalo diterawang-terawang di masa kini, kok sepertinya butuh, gitcu.
 
Montessori akan sangat menjadi nilai plus! Sayangnya sekolah dengan montessori di Bogor pilihannya sangat minim, dan bagi saya kurang sreg aja setelah cari tahu via google dengan pilihan beberapa primary school dengan montessori yang ada.

Intinya sih mau sekolah yang nggak maksa anak duduk belajar, belum ada PR untuk anak kelas 1 sampai 2 SD, kalau pun ada PR, PR nya berupa project yang memang butuh pengawasan orang tua, bukan PR textbook gitu, jadi anaknya bahagia di dalam kelas. Bahkan kangen mau sekolah mulu 😝 Sekolah yang mengutamakan akhlak, mengembangkan leadership serta kepercayaan diri dengan cara yang menyenangkan.
Rewel amat sih ibu bangsa satu ini........ 🙄

Masih ada beberapa pertimbangan lainnya, bahas di next post aja, ya! Kepanjangan banget inih 😁

See ya! Assalamualaikum 🎈

Wednesday, September 26, 2018

Kenapa (kami rasa) butuh SD Swasta?

Yap, Assalamualaikum gengs 🍒

Jadi berangkat dari obrolan grup watsap makemak kesayangan berfaedahku *halah, saya jadi tertamvar bahwa, wow S udah 3 taun lebih ajaaaah. Pet ngets, yes moms. Sudah mau sekolah bentar lagiii. Sudah yakin belum ya SD mana yang akan kami pilih? Eh, SD nya pake waiting list nggak? Dana pendidikan sudah siap? (Eaaa, ini masalah terpeliknya 😂) dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam dada.

(Warning: postingan panjang kali lebar 😅)

Dahulu kala jaman S masih 1 taunan (sekitar 2016 2017an lah, ya), saya udah mulai cari-cari tau, kira-kira nanti S SD nya dimana, ya? Berapa uang pangkalnya? SPP nya? Di Depok atau di Bogor aja? Sekolah alam atau sekolah umum aja? Kurikulum nasional atau internasional? dlsb.




Saya juga sudah coba hitung-hitung inflasi biaya pendidikannya untuk 6 tahun ke depan, karena kan nggak mungkin biaya sekolahnya akan sama dengan harga yang saya lihat saat itu dong, ya.

Nah, bermula dari situlah saya bisa memprediksi, oke saya dan suami butuh sekian puluh juta untuk rata-rata uang pangkal SD-SD yang menurut kami sesuai kriteria untuk S dan tentunya juga kami sebagai orang tua.

Oiya, kita (saya sih lebih tepatnya huehehe) emang nyari SD swasta, dan kayaknya kurang sreg dengan kurikulum serta budaya di SD Negeri. Saya masih mempertanyakan apakah metode pembelajarannya masih sama seperti saya dulu? Kelas dengan banyak anak, dipaksa mandiri, PR, beban materi sekolah yang cukup berat, murid fokus pada satu guru dan gurunya nggak fokus sama semua murid alias nggak student centered dlsb dlsb yang mungkin mayoritas pembaca mengalami pengalaman tersebut di masa kecilnya, dan baik-baik saja seperti saya. Hahaha

Walaupun sebenernya saya dan suami typical manusia yang nggak susah bangun pagi buat sekolah, nggak malesan,  anak yang tertib peraturan, rajin mengerjakan PR endembre endembre (lalu membanggakan diri, lol), intinya bukan type anak yang nggak bergairah ke sekolah gitu lah, kami bahagia sekolah walaupun sekolahnya negeri dengan tuntutan dan beban yang cukup berat kalau dipikir-pikir saat ini, khususnya setelah saya menjadi orang tua. Iya, sekolah yang ramah anak rasanya jadi prioritas sekali saat ini.

Belum lagi, ada peraturan terbaru tentang minimal usia dan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (khususnya sekolah dasar). Saya akan mention beberapa peraturan terkait, yaa.

Dikutip dari akun instagram resmi Kemendikbud @kemdikbud.ri dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sistem zonasi dalam PPDB 2018 diantaranya:

1. Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

...
...

8. Untuk jenjang SD, sistem zonasi menjadi pertimbangan seleksi tahap kedua setelah faktor minimum usia masuk sekolah sudah terpenuhi. Sedangkan bagi SMK sama sekali tidak terikat mengikuti sistem zonasi.

Yap, kesempatan masuk SD lebih besar ketika usia anak kita lebih tua dibanding calon siswa lainnya. Setelah usia, maka filter kedua adalah zonasi.

Filter yang ada, membuat sekolah favorit seperti 'kehilangan' giginya. Kehilangan lingkungan anak-anak yang terseleksi berdasarkan prestasi.

Familiar nggak sih, temen-temen sekolah dulu rumahnya ada yang diujung timur satu lagi diujung barat banget sekolah, jauuuuuh bener.

Kok, mau ya? Ya, mau lah kan sekolah favorit!

Kok, bisa ya satu sekolah sama kita yang rumahnya cuma segelindingan doang dari sekolah? Ya, bisa lah! Kan filternya nilai UN, NEM, tes calistung, IQ dlsb.

Jadi, sekolah favorit saat ini seharusnya akan sangat-sangat "multicultural" = anak pandai, rajin, malas, kurang berakhlak, orang tua peduli, orang tua cuek, orang tua dengan ilmu parenting baik, orang tua dengan sabodo amat yang penting anak gua bisa makan, sekolah dlsb dlsb. Tidak seperti seleksi alam sebelumnya, sekolah favorit kini akan menjadi sekolah "biasa saja" dengan beragam culture dari calon siswa dan orang tuanya.

Yang padahal sebelumnya, bisa jadi (bisa jadi lho ya, ini subjektif sekali memang), sudah terseleksi dengan prestasi, which is kemungkinan besar anak-anak dan orang tua masing-masing memiliki "latar belakang" tidak terlalu jauh berbeda gap diantara mereka.

Apakah sekolah swasta terjamin baik? Ya nggak juga. Tapi meminimalisir 'resiko' tercampur baurnya lingkungan yang tidak teridentifikasikan, setidaknya bisa diikhtiarkan, bagi saya.

Apakah sekolah negeri jadi sedemikian jauh kriterianya dari sekolah ideal? Ya, balik lagi, tergantung prinsip dan keyakinan masing-masing orang tua serta kebutuhan juga ketahanan anak dalam beradaptasi pada metode pembelajaran yang disajikan.

Pasti ada kok orang tua yang bisa menolerir metode pembelajaran konvensional, dan ya kok anaknya juga baik-baik aja tuh di sekolah tersebut, malah berprestasi. Jadi, balik lagi memang, kebutuhan dan preferensinya tergantung dari individunya masing-masing. Nggak ada yang sama, karena semua orang unik, yes?

Dalam peraturan kemendikbud disebutkan, ternyata masih ada kesempatan, dikecualikan untuk siswa yang di luar zonasi, tetap dapat mendaftar sekolah impiannya dengan syarat tertentu yang terdapat pada poin 6. Cukup menarik, mari kita simak.

6. Calon siswa di luar zonasi dapat diterima melalui beberapa cara yakni:

a. Melalui jalur prestasi dengan kuota paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

b. Alasan perpindahan domisili orangtua/wali atau alasan terjadi bencana alam/sosial dengan paling banyak 5% (lima persen) dari total keseluruhan siswa yang diterima.

Untuk jalur prestasi ini, masyaa Allah, insyaAllah banyak aja nih ya saingannya? Eh, saya kurang tahu ya kalau pada SD Negeri praktiknya seperti apa. Apakah berdasarkan IQ, tes calistung serta wawancara dlsb untuk menentukan calon siswa tersebut berprestasi atau tidak. Yang jelas, masuk SD Negeri saingannya makin ketat, kalau sekolah favorit anak-anak saya bertempat di luar zonasi calon sekolah favoritnya.

Nah, balik lagi nih, tes calistung ini kan kontroversi juga di kalangan emak-emak, ya. Ada yang pro ada juga yang kontra. Ada yang anaknya udah bisa, ada yang belom bisa. Ada yang udah bisa tapi nggak mau lah pilih sekolah baru SD aja tes calistungan segala, ada yang gapapa lah kan diseleksi yang terbaik doong, biar lingkungan bagus. Macem-macem lah ya. Bebas aja, selama orang tua dan anak sama-sama mengerti mau kemana dan seperti apa nantinya di sekolah.

Jadi, cari sekolah, SD ya khususnya, karena kalau TK kan nggak terlalu lama, 2 tahun paling lama, dan TK PG mah mostly main-main berfaedah aja. Nah, kalau SD ini kan cukup lama ya buk, 6 tahun. Jadi milihnya tuh agak tricky, buat emak-emak yang banyak maunya kek saya 😂 

Belum lagi di usia 6-12 tahun itu anak akan melewati berbagai puncak fitrah yang menjadi pondasi dasar karakternya menuju aqil baligh kelak, sehingga memikirkan ini jauh-jauh hari menjadi pilihan yang cukup bijak, kok gengs.

Jangan gegabah beberapa bulan sebelum tahun ajaran anak mulai sekolah, baru sibuk cari sekolah, karena yang udah booking dari sejak bayinya baru lahir pun ada, haha masyaa Allah ya buibu jaman naw ieu teh, mantul 👍 Yang mendadak, baru sibuk cari sekolah terus nggak dapet karena nggak cocok atau nggak keterima dimana-mana juga ada loh, anaknya jadi mundur lagi ke TK atau nunggu lagi setahun. Pilihan yang cukup berat, well... You choose, parents 🙃

Oiya, jangan lupa persiapkan budgetnya sedini mungkin, agar supaya nabungnya nggak berat-berat amat dan kita memiliki keleluasaan serta kesempatan untuk memilih sekolah menjadi lebih lebarrr daripada "berpura-pura" amnesia selama 7 tahun, nggak nyiapin apa-apa, tahu-tahu amanah kita (anak) udah gede aja dan bulan depan bakal jadi murid di suatu sekolah.

Oya, termasuk homeschooling! Biaya homeschool juga nggak sedikit loh, yaaa. Apalagi ilmu, komitmen juga kekuatan untuk menyelesaikannya dari A sampai Z. Superb lah buat yang bisa homskul, saya saluuute.

So, oke sampai sini, saya dan suami masih berpikir bahwa kami butuh SD Swasta untuk S. Menimbang berbagai hal serta melihat saya dan suami rasanya juga nggak sanggup kalo berkomitmen dengan metode homskul.

Disclaimer, kalo SD Negeri jaman S kelak tau-tau jadi bagus yaaa, mungkin bisa jadi kami akan pilih SDN aja karena lebih hemat yakaaaan hahaha *teteup *makemak

Untuk postingan selanjutnya, saya akan bahas beberapa yang perlu dipertimbangkan saat memilih sekolah (SD), dan kegalauan kami yang dihadapkan situasi kurang mendukung. See ya! Selamat merenung, gengs. Assalamualaikum~